Kamis, 31 Desember 2009

Sayyid Ibrahim Bin Yahya: Teladani para Salaf, agar Menjadi Teladan

Ia merasa kagum terhadap para habib di Indonesia, yang berpegang teguh mengikuti jejak para salaf.
Sejak ratusan tahun yang lalu, Mesir, khususnya Universitas Al-Azhar, menjadi salah satu tujuan terpenting kaum muslimin di seluruh dunia untuk menuntut ilmu. Tak terkecuali para pelajar dari negeri-negeri Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Malaysia. Telah banyak pelajar dari negeri-negeri ini yang menjadi orang-orang alim besar setelah menempuh pendidikan di sana.
Di antara mereka yang berhasil mewujudkan harapan dirinya dan keluarganya selama belajar di sana dan tidak tergoda dengan hiruk pikuk duniawi adalah Syed Ibrahim Bin Yahya, seorang tokoh muda habaib yang sangat dikenal di Pahang, Malaysia, dan memiliki banyak aktivitas dalam lapangan keilmuan dan dakwah.
Terpenuhi Kebutuhannya
Anak keempat dari empat bersaudara ini lahir di Kuala Tekal, Pahang, pada 18 Januari 1967. Ia anak pasangan Syed Ahmad bin Hasan Bin Yahya dan Sharifah Sehah binti Husain bin Hasan bin Abdullah Al-Hinduan. Sebagaimana keluarga Bin Yahya pada umumnya di Malaysia, ia pun keturunan Sayyid Yasin Bin Yahya, yang haulnya setiap tahun diadakan di Pahang.
Tokoh muda Pahang ini mengawali pendidikannya di Sekolah Rendah Kebangsaan K. Krau, lalu melanjutkan ke Sekolah Menengah Agama Al-Khairiah di kampungnya, Temerloh, Kuala Tukal. Setelah itu ia belajar di Kuliah Sultan Abu Bakar Pekan Pahang.
Kecintaannya kepada ilmu membawanya belajar ke Mesir untuk menimba ilmu di Universitas Al-Azhar, Fakultas Bahasa, antara tahun 1990 hingga 1996. Tidak seperti para mahasiswa Malaysia pada umumnya, Syed Ibrahim belajar di sana tanpa mendapatkan beasiswa dari pemerintah. Ketika berangkat ke sana, keluarganyalah yang membantu biaya pendidikan dan biaya hidup di sana. Tetapi sejak awal ia diingatkan bahwa mereka hanya dapat membantunya untuk tahun pertama. Tentu saja ia harus memikirkan biaya untuk tahun-tahun selanjutnya.
Tetapi benarlah apa yang dikatakan dalam hadits bahwa orang yang menuntut ilmu itu akan dipenuhi kebutuhannya oleh Allah SWT. Di tahun-tahun berikutnya, ada saja orang-orang yang membantunya.
Ternyata bukan hanya dalam hal materi ia memperoleh bantuan. Selalu saja ada orang-orang yang membimbingnya, terutama dalam masalah-masalah keilmuan. Ketika seorang pembimbing telah pergi, datang lagi orang lain yang membimbingnya.
Ketika pertama belajar di Al-Azhar, Syed Ibrahim mendapatkan bimbingan dari Habib Muhammad Aqil Al-Mahdali (kini profesor doktor, menetap di Kedah). Setelah itu, ia mendapatkan bimbingan dari Habib Ahmad bin Abdullah Al-Kaf (kini doktor, tinggal di Jakarta). Setelah pembimbing yang kedua ini pulang ke tanah air, ia kembali mendapatkan pembimbing yang baru, yakni Habib Ali bin Abdurrahman Al-Jufri.
Selama di sana, ia pun sering menghadiri kegiatan di Sahah Al-Husainiyyah, sebuah bangunan yang disediakan oleh Habib Ali bin Abdurrahman Al-Jufri yang letaknya berdekatan dengan Masjid Sayyidina Husain. Bersama mahasiswa-mahasiswa habaib dan muhibbin, setiap Ahad malam Senin ia mengikuti pembacaan qashidah Al-Burdah, dan pada malam Jum’at mengikuti pembacaan kitab-kitab Maulid.
Di tempat ini juga diadakan majelis ta’lim yang mempelajari berbagai kitab mutun (jamak matan, kitab inti) maupun kitab-kitab syarah. Para pengajarnya orang-orang dari Hadhramaut yang sedang belajar di Al-Azhar juga tapi sangat menguasai ilmu-ilmu tertentu. Di antaranya Habib Zaid Bin Yahya, yang mengajar ilmu nahwu, antara lain dengan mengkaji kitab Qathrun-Nada, Habib Abdurrahman Al-Jufri, yang mengajar faraidh, Habib Muhammad bin Ahmad Bin Semith, yang mengajarkan kitab Bidayah Al-Hidayah, karya Al-Ghazali, dan Adab Suluk Al-Murid, karya Imam Abdullah Al-Haddad.
Sekembalinya dari Mesir, ia mendarmabaktikan dirinya mengajar di sebuah sekolah agama di Pahang yang bernama Madrasah Darun-Na`im. Bersama teman-teman habaib yang lain ia juga mendirikan majelis ta’lim di Kuala Tekal. Di samping itu ia pun mendapat kepercayaan sebagai nazhir (pengawas) masjid-masjid yang berada di daerahnya yang jumlahnya sekitar 180 masjid. Kemudian sejak tahun 2003 ia bertugas sebagai Pegawai Khas Agama di kantor Menteri Besar Pahang.
Seringnya negeri Pahang dikunjungi para ulama besar memunculkan ide dalam pikirannya untuk mengadakan seminar memanfaatkan momen kedatangan mereka. Maka setiap tahun ia mengadakan seminar bekerja sama dengan pihak-pihak di Hadhramaut, Mesir, dan Indonesia. Kegiatan ini menghadirkan para tokoh ulama dari berbagai negeri. Pada bulan Mei tahun 2007, misalnya, ia membuat seminar dengan tema Bina’ Al-Ummah wa Tazkiyah An-Nufus.
Acara ini dihadiri banyak tokoh terkenal, di antaranya Habib Umar bin Hafidz dan Habib Muhammad bin Abdurrahman Assegaf, ulama asal Hadhramaut yang kini tinggal di Dubai. Juga Sayyid Afifuddin Manshuruddin Al-Jilani, keturunan Sayyid Abdul Qadir Al-Jilani yang kini menetap di Malaysia. Hadir pula Syaikh Fahmi Zamzam, ulama terkenal asal Banjar yang juga memiliki pengajian besar di Kedah.
Tahun sebelumnya ia membuat seminar dengan tema Tawjih Al-Ummah wa Tashfiyah Al-Mafahim Ad-Diniyyah. Dalam acara yang mendapat sambutan dari para dai dan peminat agama di Malaysia ini, hadir para tokoh dari Makkah, Yordania, Syria, Maroko, dan beberapa negeri lain.
Ke Makam para Habib
Syed Ibrahim telah tiga kali mengunjungi Indonesia. Pertama, pada tahun 2006, ke Palembang, dalam rangka menghadiri Maulid di Ribath Al-Muhibbin, Palembang, atas undangan Habib Umar bin Abdul Aziz bin Shahab dan Habib Muhammad Al-Habsyi, serta mengunjungi para habib di Palembang dan Jakarta.
Ia kembali mengunjungi Indonesia pada tahun 2008 untuk menghadiri Multaqa Ulama di Casarua, Bogor, yang diadakan dalam rangka lawatan Habib Umar Bin Hafidz ke Indonesia. Di tahun itu pula ia datang lagi ke Indonesia dalam rangka haul Habib Alwi bin Ali bin Muhammad Al-Habsyi di Soloziarah. Ia juga mengunjungi makam para tokoh habib maupun mereka yang masih ada.
Ia merasa kagum terhadap para habib di Indonesia, yang berpegang teguh mengikuti jejak para salaf. Mereka juga bersungguh-sungguh dalam dakwah dan memiliki respons yang baik terhadap masalah-masalah yang dihadapi umat.
Keberadaan sebagian habib di Malaysia yang telah lama, yang datuk-datuknya sudah berabad-abad tinggal di Tanah Melayu, menurut dugaannya, merupakan salah satu faktor yang menyebabkan mereka agak jauh dari jalan para salaf. Karena itu, di Malaysia, Syed Ibrahim berusaha sedapat mungkin agar para pemuda sadah Alawiyin kembali kepada cara para salaf serta mau mendekati para tokoh habaib untuk mempelajari aqidah, amaliah, dan dakwahnya.
Di antara para tokoh habaib di Malaysia yang patut diziarahi adalah Habib Ali bin Ja`far Al-Aydrus di Batu Pahat, seorang alim yang shalih. Kediamannya senantiasa didatangi orang dari berbagai tempat, baik orang awam maupun para ulama, untuk mengharapkan keberkahannya. Kemudian di Trengganu ada Habib Umar bin Abdul Qadir Al-Aydrus, seorang alim dan dai terkenal. Di daerah ini, keluarganya berpengaruh dalam dakwah. Di Johor ada Habib Zein Al-Habsyi, imam Masjid Wadi Hasan, seorang tokoh terkenal yang sangat dihormati.
Di kalangan ulama intelektual, yang terkenal di antaranya Prof. Dr. Muhammad Aqil bin Ali Al-Mahdali di Kedah. Tokoh yang berasal dari Sulawesi ini adalah seorang yang sangat dihormati. Sedangkan para tokoh yang telah berpulang ke rahmatullah antara lain Habib Utsman bin Muhammad Bin Yahya di Pahang. Ulama kebanggan para habib ini adalah cucu Habib Utsman BinYahya, mufti Betawi. Selain itu, Habib Abdurrahman bin Muhammad Bin Yahya. Ia murid Habib Hasan dan Habib Salim Asy-Syathiri, Tarim, Hadhramaut, meskipun usianya lebih tua dari kedua tokoh ulama kakak-beradik itu.
Yang membanggakan dan membuat hati Syed Ibrahim senang, di Malaysia juga muncul tokoh-tokoh muhibbin. Di antaranya Syaikh Hafizh Jenderami, yang memiliki madrasah di bawah Yayasan Al-Jenderami. Selain itu juga Syaikh Muhammad Kamaluddin, yang sangat terpengaruh dengan madrasah Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki dan Syaikh Shaleh Al-Ja`fari, Mesir.
Dari pernikahannya dengan Sharifah Furwani binti Ahmad Bin Yahya, ia dikaruniai tiga orang anak: Mohammad Al-Baqir, Balqis, dan Sehah. Dalam mendidik anak-anaknya, yang sangat ditekankannya, selain membekali mereka dengan ajaran-ajaran agama, adalah mendekatkan mereka dengan cara para salaf, agar mereka dapat meneladani datuk-datuk mereka itu. Mereka juga senantiasa diingatkan siapa mereka sesungguhnya.
Itulah yang selalu dilakukannya. Bukan hanya terhadap anak-anaknya, tetapi juga generasi-generasi muda habaib pada umumnya. Tak lain harapannya agar para sadah tetap berada pada jalurnya, sehingga dapat menjadi teladan bagi umat selamanya.

 http://pondokhabib.wordpress.com/2009/06/16/syed-ibrahim-bin-yahya-teladani-para-salaf-agar-menjadi-teladan/

www.ucapantahunbaru.blogspot.com