Jumat, 29 Januari 2010

Habib Hasan bin Soleh Al-Bahr Al-Jufri, Keluhuran Budi dan Kasih Sayangnya

Beliau dikenal sebagai pribadi yang mempunyai keluhuran budi dan kasih sayang terhadap sesama makhluk Allah.

Suatu malam sekelompok orang berkerumun di depan pintu sebuah rumah.

“Siapa yang berkerumun di depan pintu itu?” tanya tuan rumah.

“Mereka adalah fakir miskin yang menantikan sisa-sisa makan malam,” jawab salah seorang pembantunya.

Maka tuan rumah itu pun segera memerintahkan pembantunya untuk mengundang dan menjamu mereka.

Tuan rumah tersebut memang dikenal dermawan, ramah, dan lemah lembut. Dialah Habib Hasan bin Soleh Al-Bahr Al-Jufri, seorang ulama besar dan wali yang termasyhur di Hadramaut.

Beliau lahir di Khali Rasyid, Hadramaut pada 1191 H/1771 M. Sejak berusia dua tahun ia telah yatim, ditinggal ayahandanya, Saleh bin Bahr Al-Jufri. Ia kemudian diasuh oleh ibu dan kakeknya, Sayid Idrus bin Abubakar Al-Jufri di Dzi Ishbah.

Sejak kecil, ia tinggal di lingkungan yang mencintai ilmu pengetahuan agama dengan semangat beribadah yang kuat. Mula-mula belajar membaca Al-Quran kepada Syekh Abdurrahman Ba Suud, kemudian belajar menghafal kitab suci itu di bawah bimbingan Syekh Abdullah bin Saad.

Setelah itu ia berguru ke sejumlah ulama, seperti Habib Umar bin Zein bin Smith, Habib Umar bin Ahmad bin Hasan Al-Hadad, Habib Alwi bin Saggaf bin Muhammad bin Umar Assegaf. Belakangan, ia juga belajar kepada Habib Umar bin Saggaf bin Muhammad bin Umar Assegaf di Seiwun. Di sana pula akhirnya ia mendapatkan jodoh.

Ketika dewasa ia sering berdakwah melalui beberapa majelis taklim keliling di Syibam, kemudian berdakwah di kota-kota lain. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena penduduk Syibam saat itu tengah mengalami kemunduran dan kelalaian. Karena itu ia pun terpaksa hijrah dari Syibam menuju Dzi Ishbah.

Di belakang hari ia dijuluki Al-Bahr (yang artinya “laut”, maksudnya “lautan ilmu”) berkat kedalaman dan keluasan ilmu agamanya. Ketika mengkaji kitab Mukhtashar at-Tuhfah langsung dari pengarangnya, Syekh Ali bin Umar bin Qadhi Bakhsir, ia banyak mengoreksi beberapa hal, padahal umurnya baru 20 tahun.

Kedalaman ilmu itu juga tampak ketika Sayid Abdurrahman bin Sulaiman Al-Ahdal, seorang mufti dari Zabid, memintanya menulis risalah yang menjelaskan sifat salat kaum mukarabin, orang yang selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan sebisa mungkin melaksanakana segala ibadah sunah. Permintaan itu ia penuhi dalam risalah Shalatul Muqarrabin, yang membuat kagum para ulama dan sufi, terutama di Hijaz – nama Arab Saudi kala itu.

Sebagai ulama yang berpegang teguh pada sunnah Nabi, ia selalu berusaha meniti jejak para ulama salaf. Misalnya dengan selalu menunaikan salat berjemaah di masjid meskipun letaknya jauh dari rumah di pinggiran kota Dzi Ishbah. Atas permintaan penduduk, juga untuk menghemat waktu dan mengurangi kesulitan perjalanan, ia kemudian pindah ke dalam kota.

Semangatnya untuk mengamalkan salat sunah Rawatib, salat sunah yang dikerjakan secara tetap sebelum dan sesudah salat fardu, dan salat sunah yang lain, memang sangat tinggi. Antara lain, dari salat Khusuf (Gerhana Bulan), salat Kusuf (Gerhana Matahari), sunah setelah wudu, salat Duha delapan rakaat, hingga salat Witir 11 rakaat di akhir malam – semuanya ia kerjakan dengan tekun.

Tentu saja salat wajib lima waktu selalu ia kerjakan secara berjemaah pula. Ia juga lazim membaca setengah dari jumlah surah Al-Quran dalam salat Tahajud. Kadang kala malah khatam dalam satu rakaat. Ulama yang sangat mengutamakan salat ini juga sering melakukan puasa Nabi Dawud (sehari puasa sehari tidak), baik sedang di rumah maupun bepergian, sehat ataupun sakit.

Ahli Ibadah

Beliau juga sering membaca surah Yasin 40 kali dalam satu majelis dan dalam satu atau dua rakaat salat. Di antara wirid yang digemarinya ialah membaca surah Al-Ikhlash sebanyak 90.000 kali dalam satu rakaat salat.

Ia telah menunaikan ibadah haji lebih dari tujuh kali dan sering melakukan tawaf malam hari sambil membaca Al-Quran sampai fajar – kadang malah sampai mengkhatamkannya. Sebagaimana dituturkan Sayid Ahmad bin Ali Al-Junaid dalam perjalanan dari Mekah ke Medinah pada 1233 H/1813 M, pada saat puasa Habib Hasan setiap malam hanya sahur dengan beberapa teguk air, lalu menunaikan salat Tahajud.

Menurut salah seorang anaknya, Abdullah bin Hasan, walaupun sang ayah sedang sakit parah dan hanya bisa terbaring di tempat tidur, ketika waktu salat sunah yang biasa dilakukannya telah tiba, Habib Hasan bangun kemudian memukul kedua pahanya sambil berkata, ”Bangunlah wahai jiwa yang buruk! Jangan kau halangi aku untuk menunaikan wiridku!” Ia lalu mengambil air wudu untuk salat sunah sambil memegang Al-Quran. Usai salat, ia terjatuh dan tubuhnya kembali panas.

Meskipun dikenal sebagai ahli ibadah, dengan rendah hati ia berkata, “Kekerasan hati dan kelalaian telah mengalahkanku, sehingga tidak tersisa lagi padaku selain tawakal kepada Allah, serta prasangka baik kepada-Nya, dan pada sifat-sifat-Nya yang Pengasih dan Penyayang. Adapun amalan-amalanku buruk. Jika ada amalku yang baik, itu berkat kemurahan, rahmat, dan karunia Allah SWT belaka.”

Selain dikenal sebagai ahli ibadah, orang mengenalnya pula sebagai pribadi berbudi luhur dan penuh kasih sayang terhadap sesama makhluk. Seperti diceritakan oleh Habib Ahmad bin Ali Al-Junaid, yang menemaninya dalam perjalanan ke Mekah lalu berziarah ke makam Rasulullah SAW di Medinah. Dalam perjalanannya ke Medinah, mereka dirampok. Tapi Habib Hasan tidak mencegahnya.

“Mengapa Sayid tidak mencegahnya?” tanya Habib Ahmad.

Maka jawab Habib Hasan, “Cobaan ini tidak terlalu berat bagiku, kecuali mereka mengambil Al-Quran yang kubawa. Ini memang cobaan Allah. Dan cobaan Kekasih tidak menyakitkan.”

Ketika saudara kandung Habib Ahmad Al-Junaid, yaitu Habib Umar Al-Junaid, yang kaya, meninggal dunia, ia berwasiat kepada Habib Ahmad agar memberi uang senilai 500 riyal kepada Habib Hasan. Tapi, ketika uang tersebut diserahkan, Habib Hasan justru berkata, ”Ini adalah dosa yang siksanya akan disegerakan.” Lalu ia langsung membagi-bagikan uang tersebut kepada orang-orang yang dapat memanfaatkannya demi ketaatan mereka kepada Allah SWT.

Anjing Liar

Kasih sayangnya tidak hanya terhadap orang-orang di sekitarnya, tapi juga kepada seekor anjing liar yang banyak mengganggu penduduk karena sering melahap hewan piaraan. Mendengar pengaduan penduduk, ia berkata,

”Anjing itu bertingkah demikian karena kalian menelantarkannya dan tidak memberi makan. Bawa kemari anjing itu, lalu berilah makan dia hingga kenyang.”

Habib Hasan sangat menaruh perhatian pada anjing tersebut, dengan menempatkannya dalam sebuah kandang yang bersih dan memberinya makanan. Setiap hari ia selalu bertanya kepada pembantunya bagaimana keadaan anjing yang dipeliharanya itu.

Usai menunaikan salat Jumat di sebuah masjid di Syibam, Habib Hasan melihat seekor burung kecil jatuh dari sarangnya di atas masjid ke lantai. Melihat anaknya jatuh, induknya menjerit-jerit. Habib Hasan rupanya terharu, ia pun tak kuasa lagi menahan air matanya. Maka ia pun lalu minta para jemaah keluar sebentar, agar si induk burung dapat mengambil anaknya dengan leluasa kembali ke sarangnya.

Ia juga sangat peduli pada fakir miskin. Ketika menikahkan salah seorang putrinya, Habib Hasan melihat kerumunan orang di bawah jendela lonteng.

“Siapa yang berkerumun di sana itu?” tanyanya.

“Mereka fakir miskin yang menantikan sisa-sisa makan malam,” jawab pembantunya. Maka ia pun segera memerintahkan menjamu mereka, padahal hanya tersedia makanan yang dipersiapkan untuk para tamu pernikahan.

”Tidak apa-apa, hidangkan saja makanan itu,” ujarnya.

Habib Hasan mendapat gelar Aljufri, sebagaimana para pendahulunya. Tokoh yang pertama mendapat gelar Aljufri ialah Habib Abubakar bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ustadzil A’dzam Al-Faqih Al-Muqaddam. Julukan itu ada riwayatnya. Ketika masih kecil, ia disapa oleh sang kakek, Al-Imam Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mawla Dawilah, “Ahlan bil Jufrah!” (Selamat datang, anak kambing kecilku).

Sang kakek memanggil cucunya dengan panggilan “anak kambing” karena tubuh cucunya yang gendut dan lucu seperti anak kambing yang sehat. Menurut seorang ahli bahasa, jufri berarti anak kambing usia empat bulan. Ada pula yang mengatakan, sebutan jufri itu digunakan karena dahulu kakek mereka menulis buku tentang jufr dan sering mengulang-ulang kata jufri.

Habib Hasan bin Soleh Al-Bahr Al-Jufri, yang berbudi luhur dan penuh kasih sayang, wafat pada waktu Dhuha, hari Rabu, 23 Zulkaidah 1273 H/1853 M, di Dzi Ishbah. Jenazahnya dimakamkan dekat makam ibundanya di tengah musala di samping rumahnya.

Disarikan dari buku Shalat Para Wali karya Habib Hasan bin Soleh Al-Bahr Al-Jufri terjemahan Habib Novel Muhammad Alaydrus terbitan Putera Riyadi, Solo

www.ucapantahunbaru.blogspot.com