Kamis, 28 Januari 2010

KH. Abdullah Abbas


KH. Abdullah Abbas adalah sesepuh Pondok Buntet Pesantren Cirebon. Beliau termasuk Kiai Khos yang menjadi rujukan umat Islam Indonesia. Bahkan banyak orang yang menyebutnya sebagai “Sang Panutan” dan “Penyangga Masyarakat”.

Kiai Abdullah Abbas sejak usia muda sampai jelang wafat banyak memberikan sumbangan pikiran dan tenaga dalam membangun bangsa ini. Prinsip tersebut memang sudah terpatri dalam diri Kiai Dullah, karena Kiai Abdullah Abbas termasuk yang ikut meletakan pundi-pundi kemerdekaan. KH. Abdullah Abbas adalah satu-satunya putera Kiai Abbas yang ikut memimpin dalam berbagai pertempuran melawan Penjajah Belanda.

Saat itu, Kiai Abbas bertempur di Surabaya pada 10 November 1945. Kiai Abdullah Abbas pun turut berangkat bertempur melawan Penjajah. Kiai Dullah melawan Belanda di daerah Sidoarjo bersama Mayjen Sungkono. Bukan itu saja, Kiai Abdullah Abbas dengan pasukannya sering diminta untuk membantu pasukan lain seperti di Tanjung Priok, Cikampek, Menengteng (Kuningan), dan pernah juga berhasil menyerang pabrik gula Sindang Laut. Kiai Dullah aktif menjadi pasukan Hisbullah, bahkan menjadi Kepala Staf Batalyon Hisbullah. Beliau juga menjadi anggota Batalyon 315/Resimen I/Teritorial Siliwangi dengan pangkat Letnan Muda.


Riwayat Pendidikan
Kiai Abdullah Abbas merupakan anak pertama Kiai Abbas dari istrinya yang kedua yaitu Nyai Hajjah I’anah. Kiai Abdullah Abbas mempunyai seorang adik perempuan yaitu Nyai Hajjah Sukaenah, serta adik laki-laki yaitu KH. Nahduddin Royandi. Kiai Abdullah Abbas lahir di Buntet Pesantren Cirebon pada tanggal 7 Maret 1922. Dari perkawinan dengan istri pertamanya yaitu Nyai Hajjah Aisah, Kiai Abdullah mempunyai seorang puteri yaitu Nyai Hajjah Qoriah yang dipersunting oleh KH. Mufassir dari Pandeglang Banten.

Pada tahun 1965, Nyai Hajjah Aisah meninggal dunia. Tak lama kemudian Kiai Abdullah Abbas menikah dengan Nyai Hajjah Zaenab, Putri Qori terkenal KH. Jawahir Dahlan. Dari perkawinan dengan Nyai Hajjah Zaenab, Kiai Dullah dikaruniai sepuluh putra, yaitu Ani Yuliani, Ayip Abbas, Asiah, Ismatul Maula, Laela, Mustahdi, Muhammad, Yusuf, Neneng Mar’atussholiha,dan Abdul Jamil.

Kiai Abdullah Abbas sejak kecil mendapat pembinaan yang serius oleh ayahnya, Kiyai Abbas. Maka tak ayal bila jejak-jejak dan pola hidup Kiai Abbas banyak ditiru oleh Kiai Abdullah Abbas. Selain itu, Kiai Abdullah Abbas mendapat gemblengan dari beberapa Pesantren, Pesantren yang pertama kali disinggahi adalah Pesantren di Pemalang yang dipimpin oleh Kiai Makmur.

Selepas dari Pemalang Jawa Tengah, Kiai Dullah menimba ilmu pada Kiai Ma’sum di Lasem Jawa Tengah. Rampung dari Lasem, Kiai Dullah berguru pada Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari Jombang Jawa Timur. Dan terakhir Kiai Dullah digembleng oleh Kiai Abdul Karim Manaf di Lirboyo.

Selepas dari Pondok Pesantren, Kiai Abdullah Abbas langsung berkiprah di masyarakat. Dengan diserahi sebagai Ketua Batalyon Hisbullah, Kiai Dullah berjuang merebut kemerdekaan. Selepas revolusi fisik, Kiai Abdullah Abbas mengalihkan perjuanganya dari mengangkat senjata beralih pada berdakwah langsung di masyarakat. Jabatan kemiliterannya (Letnan Muda) ditinggalkan dan lebih memilih menjadi Juru Warta pada Juru Penerangan Agama Kabpaten Cirebon. Lalu menjadi Pengatur Guru Agama Islam Kabupaten Cirebon dan Jabatan terakhir adalah Kepala MAN Buntet Pesantren Kabupaten Cirebon.


Tokoh Pluralis Sejati
Kiai Abbas, ayahanda Kiai Abdullah Abbas, adalah seorang tokoh yang sangat menghargai manusia dengan apa adanya, Beliau tidak membeda-bedakan manusia baik dari segi ras, agama dan keturunan. Dihadapan Kiai Abbas semua manusia sama. Ini dibuktikan dengan banyaknya tamu dari berbagai kalangan yang datang dari berbagai kalangan ke rumah Kiai Abbas. Bahkan Beliau mempunyai anak angkat keturunan Tionghoa yaitu Kiai Usman.

Tampaknya pola hidup ini juga yang diikuti oleh anak-anaknya. Nyai Hajjah Sukaenah (Istri KH. Kahawi) pada tahun 1970-an ketika mempunyai mobil angkutan, sopirnya bernama Siem Oek, warga Sindang Laut Cirebon keturunan Tionghoa yang beragama Kristen. Padahal saat itu, berhubungan dengan orang yang tidak seagama masih dipandang sangat tabu. Sementara KH. Nahduddin Royandi yang tinggal di London (Inggris) menikah dengan warga negara Inggris keturunan Perancis.

KH. Abdullah Abbas sendiri, sering sekali didatangi tamu dari berbagai kalangan. Semuanya diterima dengan baik. Dr. Ferdy Sulaeman, STh, Ketua wadah Komunikasi dan Pelayananan Umat Beragama Jakarta Timur, ketika mengadakan Live In Pemuda Pemudi Lintas Agama pada tanggal 5 sampai 8 bulan Januari tahun 2006.

Kiai Abdullah Abbas, sebagaimana juga Kiai Abbas ayahnya, selalu menghormati tamu-tamunya tanpa pandang bulu. Siapa pun yang hadir di rumahnya, pasti mendapat penghormatan yang sama. Maka wajar bila rumah Kiai Dullah sering kedatangan tamu, baik pejabat seperti Presiden, Gubernur, Bupati, dan pejabat lainnya, pernah juga beberapa Bintang Film dan rakyat kecil.

Ketika warga Buntet Blok Bulak mendapat tekanan dari aparat karena mendemo Galian C yang hampir sampai rumah mereka, wong-wong cilik itu langsung memohon perlindungan pada Kiai Abdullah Abbas. Walaupun saat itu beliau dalam keadaan sakit, Kiai Dullah menemui mereka dan memberi semangat, “Teruskan perjuangan dan semoga berhasil,” pesan Kiai Dullah singkat.

Kecintaan Kiai Dullah terhadp wong cilik, sangat dirasakan dalam pola kehidupan sehari-harinya. Kiai Dullah selalu ngemong rakyat cilik. Dalam pengajian kitab Kuning, Kiai Dullah cenderung mengajarkan kitab-kitab yang sederhana dan simpel, seperti Kitab Safinah Annajah, Sulam Annajah, Sulam Attaufiq, Uquduljain dan kitab-kitab yang relatif tipis. Hal itu karena ia mengikuti pola pendidikan Mbah Muqoyyim (salah satu sesepuh Buntet Pesantren) yang populis, “Ajarkan Kitab Safinah (dengan bahasa yang sederhana) dengan wawasan Ihya Ulumuddin (Penjelasan yang Koprehensip).”

Maka tak aneh, setiap kali ngaji pasaran (pengajian khusus bulan Ramadhan), walaupun kitab yang dibaca sangat sederhana dan tipis, tapi yang ngaji banyak juga banyak juga orang dewasa. Selain cara pendidikan yang mengarah pada penyampaian yang sederhana tapi luas, Kiai Dullah juga secara priodik memberikan santunan kepada anak yatim dan fakir miskin yang berada di Buntet Pesantren.


Perjuangan Khittah NU
Pada tahun 1984, ketika situasi politik telah membelokan arah NU, Kiai Dullah bersama Kiai Syafi’i dari Plumbon dan Gus Dur, melakukan gerakan perlunya NU kembali ke Khittah tahun 1926. Gerakan ini tentunya mendapat tantangan yang sangat hebat dari berbagai kalangan.

Walau mendapat tantangan yang cukup berat, namun karena cintanya kepada warga NU, Kiai Abdullah Abbas terus berjuang dengan bersafari dari satu daerah ke daerah yang lain untuk melakukan kampanye perlunya NU kambali ke Khittah tahun 1926. Kiai Abdullah Abbas memang sejak muda aktif di NU. Bermula dari GP Anshor. Beliaupun pernah menjadi Ketua Rois Syuriah NU Jawa Barat.

Bertemunya Kiai Abdullah Abbas dengan Gus Dur, seakan menemukan kembali persaudaraan yang sempat renggang. KH. Abbas ayah Kiai Abdullah Abaas sangat akrab dengan Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, Kakek Gus Dur. Maka pertemanan antara keduanya membuat Kiai Abdullah Abbas mampu mengembangkan berbagai ide dan gagasan. Dinobatkannya Kiai Dullah sebagi Kiai Khos pada masa Gus Dur, telah membuat Kiai Dullah menjadi rujukan berbagai kalangan.

Dalam usianya yang sudah relatif sepuh, Kiai Abdullah beberapa kali masuk Rumah Sakit Ciremai. Ada beberapa gagasan Kiai Dullah yang sampai sekarang masih dalam proses realisasi yaitu ingin didirikannya Sebuah Sekolah Tinggi Kesehatan, Akademi Kebidanan, Sekolah Tinggi Agama Islam dan Rumah Sakit.

Beberapa sarana pendidikan yang sudah berdiri Saat ini sudah berdiri Madrasah Ibtidaiyah Putra dan Putri, Madrasah Tsanawiyah (MTs) NU Putra 1 dan MTs NU Putra 2 dan MTs Putri, Madrasah Aliyah (MA) NU Putra, MA NU Putri, Akademi Keperawatan, serta Lembaga Bahasa dan Ketrampilan.



Sumber : http://www.buntetpesantren.com

www.ucapantahunbaru.blogspot.com