Minggu, 24 Januari 2010

Degradasi Budaya Membaca Anak Bangsa*


“Kegunaan membaca ialah membantu kita untuk berfikir”
  (Edward Gibbon)

Dibandingkan dengan menonton nampaknya budaya yang satu ini jadi prioritas nomer sekian untuk dilakukan. Bagi banyak orang akan lebih memilih membeli tiket nonton film yang baru muncul dibandingkan dengan membeli buku yang baru diterbitkan. Dikatakan oleh Tirta Rismahadi Wijaya dalam opininya, dia menyebutkan bahwa generasi Indonesia sekarang lebih pas disebut dengan generasi visual. Padahal generasi visual adalah merupakan musuh utama budaya literal. (Suara Karya, Jumat,4 Mei 2012).
Dewasa ini hampir 90 persen penduduk Indonesia menjadikan televisi (media visual) sebagai kebutuhan primer untuk mendapatkan informasi, berita, dan hiburan. Hal ini sangat mengkhawatirkan budaya membaca bangsa ini. Fakta telah membuktikan, tayangan-tayangan ditelevisi selalu menyajikan sinetron-sintetron, atau cerita-cerita yang tidak masuk diakal. Meskipun ada sebagian stasiun televisi yang masih konsisten dalam memberikan pengetahuan kepada para pemirsanya. Hal ini nampak dengan maraknya tayangan drama dengan pesan berbau kekerasan, egoisme, mistik, hedonisme, dan pergaulan bebas.
Padahal, TV memberikan dampak yang kurang baik bagi perkembangan mental anak, anak menjadi lemah dan tidak terdidik secara baik. Selain itu anak menjadi malas. Membaca selain memberi pengetahuan yang lebih, Sir Richard Steele juga mengatakan bahwa membaca, bagi pikiran, adalah seperti olahraga bagi tubuh.
            Namun, budaya membaca dan menulis di Indonesia nampaknya masih menjadi kegiatan  yang dianggap hal yang menguras otak, membuat pusing, dan menjenukan. Kegiatan membaca tampaknya memang belum bisa menjadi kebutuhan pokok bagi bangsa kita seperti halnya makan dan minimum. Padahal membaca adalah kebutuhan primer untuk membantu kita dalam berfikir yang logis dan analitis seperti apa yang telah dikatakan Edward Gibbon. Dalam islam, budaya membaca sudah diajarkan pada zaman Rosulullah SAW, bahkan wahyu pertama yang diturunkan kepada beliau pun perintah untuk ber-iqra’ (baca).
            Gelombang meterialistik yang destruktif, yang begitu gencar melanda, telah membuat banyak anak-anak kita tidak terarahkan secara baik. Banyak diantara mereka yang malas membaca. Tidak hanya dijenjang sekolah yang lebih rendah, bahkan sampai diperguruan tinggi pun, minat membaca sangat rendah. Tentu saja hal ini sangat mempengaruhi kualitas ilmu mereka. Padahal potensi otak manusia sangat dahsyat. Dalam berbagai penelitian ditunjukkan, bahwa tingkat pemanfaatan potensi otak manusia, baru mencapai sepuluh sampai dua puluh persen.
Inilah sesungguhnya musuh terberat bagi pendidikan bangsa Indonesia. Kini, budaya membaca dan menulis semakin tertinggal tidak popular dikalangan pelajar dan mahasiswa. Budaya membaca dan menulis dianggap sebagai hal yang membosankan. Bahkan tidak sedikit mereka mengganggap bahwa kegiatan menulis dan membaca adalah kegiatan yang sangat menyulitkan. Tidak heran jika kita melihat banyak sekali pelajar atau mahasiswa menghindari kegiatan yang berbau literal. Bahkan banyak kita melihat mahasiswa menugaskan tugas akhirnya kepada agen-agen pembuat skripsi. Hal ini adalah kebobrokan terbesar dalam dunia pendidikan kita, pelajar atau pun mahasiswa sudah tidak lagi bersahabat dengan buku. Mereka lebih memilih jalan instan. Maksud instan disini, Baik pelajar maupun mahasiswa sudah tidak lagi menghiraukan budaya membaca, mereka lebih senang meng-copy-paste tulisan orang lain melalui internet. Perubahan sikap pelajar atau mahasiswa tersebut adalah bukti menurunnya budaya membaca dinegeri ini.
            Belum lagi kemendikbud telah mengeluarkan statement yang menggemparkan jagad perguruan tinggi. Setiap lulusan perguruan tinggi harus mempunyai tulisan yang dimuat dijurnal nasional. Hal ini terasa anomaly dengan relitas yang ada.
Hukum sebab akibat
John locke mengatakan membaca dapat melengkapi pikiran hanya dengan bahan-bahan pengetahuan, berpikir menjadikan apa yang kita baca menjadi milik kita. Hukum sebab akibat nampaknya masih sangat berpengaruh dalam berbagai hal, termasuk dalam membaca. Seperti apa yang dikatakan John locke diatas. Manusia yang tidak membaca tidak mempunyai pengetahuan yang penuh dan pikiran yang luas. Sebab seseorang mempunyai pengetahuan yang penuh dan pikiran yang luas, adalah akibat dari manusia tersebut mau membaca. Mustahil jika orang tersebut mengingkari adanya proses membaca.
Membaca memang sebuah kebutuhan. Dengan membaca seseorang dapat memperoleh berbagai informasi yang dibutuhkan, terangsang kreativitasnya, mendorong timbulnya keinginan untuk dapat berpikir kritis dan sistematis, memperluas, dan memperkaya wawasan serta membentuk kepribadian yang unggul dan komptitif.
Menurut Tilaar proses membaca adalah proses memberikan arti kepada dunia (Give meaning to the world). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa masyarakat yang gemar membaca atau (Reading society) akan melahirkan masyarakat yang belajar (Learning Society). (Tilaar: 1999)
Membaca, budaya terlupakan
            Tiada hari tanpa membaca”. Kalimat itu jelas tak asing menjadi kredo (kepercayaan, keyakinan) yang menjejali berbagai ruang pencerahan di negeri kita. Sayangnya, bagsa kita memang memiliki kebebalan rasa yang sudah sedemikian parah. Beribu kredo, slogan, motto berderet, semua hanya menjadi pajangan.
Pada tahun 1945 ketika soekarno dan kawan-kawan memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, tingkat melek huruf bangsa Indonesia hanya 5%, lalu sebagaimana dikatakan oleh Munif Chatib dalam bukunya Gurunya Manusia pada tahun 2010 tingkat melek huruf penduduk Indonesia telah mencapai 92%. Yang patut kita banggakan adalah tidak banyak Negara yang mampu membuat konversi pemberantasan buta huruf secara begitu drastis, kita bisa bandingkan dengan Mesir dan India yang sampai saat ini hanya mencapai 66% tingkat melek huruf penduduknya.(Chatib:2010).
Tapi melihat realitas yang ada, budaya yang baik dinegeri ini nampaknya mulai dilupakan, membaca. Membaca nampaknya masih menjadi beban yang sangat berat untuk dilakukan bagi para pelajar dan mahasiswa dinegeri kita. Tidak pernah tahu apa sebab kemunduran pada budaya yang satu ini, tapi nampak terlihat jelas perbedaannya. Padahal tugas pokok bagi pelajar maupun mahasiswa adalah membaca, dan memperbanyak referensi guna mempertanggung jawabkan kepelajarannya dan kemahasiswaannya.
Nampaknya tidak akan ada bedanya jika seorang pelajar atau mahasiswa dengan tidak pelajar dan mahasiswa jika mereka tidak membaca. Realitanya dalam konteks ini adalah orang yang menyandang kata pelajar atau mahasiswa adalah orang yang ‘katanya’ mencari ilmu, yang berada dalam institusi kependidikan dengan kurikulum yang telah ditentukan. Sedang yang tidak pelajar atau mahasiswa adalah kebalikan dari idiom itu. Terus bagaimana cara membedakan antara yang tidak dengan yang iya? Menurut saya, dengan membaca setidaknya akan membedakan kita sebagai pelajar atau mahasiswa dengan yang tidak, tetapi bukan berarti yang tidak pelajar atau mahasiswa tidak berhak untuk membaca. Bahkan tidak sedikit dinegeri kita orang yang tidak pernah berpredikat pelajar atau mahasiswa lebih luas pengetahuannya dibanding dengan yang berpredikat pelajar atau mahasiswa. Itu semua disebabkan karena mereka mau membaca. Itu semua tergantung pada kesadaran masing-masing individu, berani berpredikat pelajar atau mahasiswa berarti juga harus berani mempertanggungjawabkan kepredikatan tersebut.
            Salah satu lemahnya bangsa kita adalah tidak adanya kesadaran bertanggungjawab dari masing-masing individu. Seolah-olah sekolah ataupun kuliah hanya menjadi alat untuk mendapatkan legalitas kependidikan semata, mendapatkan begitu banyak gelar dari, S. Pd, M. Si, DR, Prof, MA, dll. Tanpa bisa dipertanggungjawabkannya. Sehingga muncullah agen-agen pembuat ijazah palsu. Wassalam…
           
*Moh. FaizMaulana
Ketua Umum PMII Sekolah Tinggi  Agama  Islam Nahdlatul Ulama
(STAINU) Jakarta, Pengelola  Komunitas Waria
(Wacana Riang dan Gembira) Jakarta


www.ucapantahunbaru.blogspot.com