Namun semua usaha itu kurang memuaskan bathinnya. Maka akhirnya ia tinggal di Palu, membuka majelis pengajian bersama keluarganya.
Mencari harta benda dalam kehidupan di dunia memang penting, tetapi lebih penting mencari bekal untuk di akhirat. Itulah yang diyakini Habib Agil bin Abu Bakar Al-Qadri dari Balikpapan. Kehidupan sehari-harinya kini lebih banyak untuk berdakwah.
Habib Agil lahir di Palu Utara, Sulawesi Tengah, pada tanggal 6 Maret 1970. Ia dididik agama Islam sejak kecil oleh kedua orangtuanya. Untuk SD dan SMP, ia belajar di sekolah umum di Palu Baru. Kemudian pada tahun 1981 ia berangkat ke Arab Saudi, ikut abahnya, Habib Abu Bakar Al-Qadri, konsulat Indonesia di Arab Saudi yang mengurusi bagian haji. Ia belajar di sekolah internasional di Jeddah yang berada di kedutaan. Di sekolah ini pengantarnya adalah bahasa Arab dan bahasa Inggris.
Kemudian Habib Agil melanjutkan pendidikiannya ke Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, pada 1984, mengambil jurusan Ushuluddin. Di samping itu ia juga
belajar di Sekolah Bahasa Asing di kota yang sama. Habib Agil mempelajari bahasa Inggris dan bahasa Arab. Alasannyaa, karena kajian Islam di Indonesia banyak mengambil sumbernya dari literatur berbahasa Arab, Belanda, dan Inggris.
Tidak puas belajar di Al-Azhar, kemudian Habib Agil melanjutkan belajar ke Belanda. Dengan kemampuan bahasa Belanda yang dipelajarinya di Sekolah Bahasa Asing di Kairo, mudah baginya untuk mengikuti kelas kajian Islam dengan bahasa Belanda.
Ia tinggal di Rotterdam, kota pelabuhan terbesar di Belanda. Kemudian pindah ke Den Haag, baru kemudian ke Amsterdam, ibu kota Belanda.
Karena jiwa petualangannya, pada tahun 1986 ia berangkat ke Italia. Di Negeri Pizza ini, Habib Agil, selain mempelajari bahasa Italia, juga mempelajari ilmu sosial, yang sangat berkembang di negeri itu.
Tak terasa empat tahun ia belajar di Italia, dan benar-benar menguasai bahasa itu dengan baik.
Bukan Aliran Wahabi-nya
Kepada alKisah, Habib Agil dengan bercanda menjawab pertanyaan dengan bahasa Italia, yang tentu saja tidak dimengerti. Kadang, sekadar untuk intermezo, dalam sebuah majelis ta’lim ia pun menggunakan bahasa Italia atau bahasa Belanda.
Di balik canda dan intermezo itu, sesungguhnya ada ibrah yang bisa kita ambil. Yakni, dalam rangka berdakwah, apalagi dalam era globalisasi, pengusaan bahasa asing sangat penting.
Bahkan, dalam pengakuannya, Habib Agil tidak hanya menguasai bahasa-bahasa asing di atas dan bahasa daerah Kaili, Palu Utara, tempat kelahirannya, melainkan juga bahasa Melayu, bahasa Madura, dan bahasa Jawa. Dan karena lama tinggal di Eropa, ia pun lancar berbahasa Prancis.
Pada tahun 1991 ia kembali ke Arab Saudi dan bekerja di Saudi Airport. Di sini, ia mengurusi jama’ah haji yang datang dari luar Arab. Termasuk jama’ah Indonesia. Kemudian ia berpindah ke perusahaan asing, yaitu World Wide, yang menyuplai alat-alat rumah sakit ke Arab Saudi.
Di perusahaan ini, ia tidak lama, karena kemudian ia membuka toko sendiri yang menjual berbagai keperluan rumah tangga di kota Jeddah. Di samping itu, ia juga masih sempat bekerja sebagai agen Arab Saudi yang mengurusi para TKW yang datang ke Arab dan masalah perburuhan. “Saya sering membantu TKW yang tidak punya paspor atau karena suatu hal paspornya hilang,” katanya.
Salah satu prestasinya yang sangat membanggakan adalah andilnya dalam ikut membebaskan TKW Nasiroh dari hukuman mati pada tahun 1994.
TKW yang berasal dari Jawa Barat itu sudah diancam hukuman pancung. Tapi berkat bantuannya bersama tim dari Indonesia, yang tergabung dalam tim pengacara Indonesia di Mahkamah Kubra (Tinggi), alhamdulillah Nasiroh dapat pengampunan Raja, sehingga ia bisa pulang ke Indonesia dengan selamat.
Habib Agil juga ikut dalam suatu maktab haji yang mendapat izin penuh dari Pangeran Muhammad bin Jahawi Al-Saud untuk mengurus para haji Asia Tenggara. Ia tergabung dalam perusahaan Armin Group yang bekerja sama dengan kedutaan Indonesia.
Meski sibuk bekerja di Arab Saudi, Habib Agil masih menyempatkan diri belajar agama. Pertama ia belajar kepada Syaikh Yasin Bugis-Mandar, seorang ulama asal Sulawesi yang tinggal di Makkah dan banyak mengajar murid-murid yang berasal dari Sulawesi. Kemudian kepada Habib Abdul Qadir Assegaf,
khususnya malam Kamis dan malan Jum’at. Pengajian habib kharismatis itu diikutinya dari Makkah, kemudian pindah ke Jeddah.
Di Arab Saudi sendiri ada organisai dakwah yang dinamai “Mabahists Amar Ma’ruf Nahi Munkar”, yang kebanyakan memang dipimpin para ulama Saudi yang beraliran Wahabi. “Namun saya hanya mengambil ilmu pokoknya, seperti tafsir, hadits, dan lainnya. Bukan aliran Wahabi-nya,” tuturnya.
Nurul Khairaat lil Muhibbin
Pada tahun 1996, Habib Agil pindah ke Indonesia, karena di Timur Tengah terjadi Perang Teluk. Irak menginvasi Kuwait, dan sudah mengancam akan
menyerang Arab Saudi. Karena itulah, warga asing yang berada di Saudi cepat-cepat menyelematkan diri untuk keluar dari negeri itu. “Semua harta benda ditinggal, saya punya 14 mobil dan toko, tapi semua barangnya kini saya tidak tahu ada di mana,” kisahnya.
Habib Agil beradaptasi lagi dengan iklim di Indonesia. Ia harus mencari kawan lagi untuk berdagang dan membuka usaha baru. Dan karena yang dikuasainya adalah pengadaan barang ke Arab Saudi, ia pun berusaha menjual berbagai barang yang diperlukan di Saudi, khususnya untuk jama’ah haji dan umrah, seperti pakaian haji atau umrah, mukena, payung, sandal, busana muslim, pakaian ihram, danlain-lain.
Namun semua usaha itu kurang memuaskan bathinnya. Maka akhirnya ia tinggal di Palu, membuka majelis pengajian bersama keluarganya. Majelis itu dinamai “Nurul Khairaat lil Muhibbin”.
Kegiatan majelis itu kemudian meluas ke Kabupaten Donggala sekitar tahun 2000.
Pada tahun 2001, Habib Agil menikah dengan Fitriyah Al-Jawwas. Dari pernikahan itu mereka dikaruniai dua anak: Muhammad Sulthan Wildan Al-Qadri dan Farid bin Agil Al-Qadri.
Sehari-hari kini mereka tinggal di Balikpapan, tepatnya di Jalan Agus Salim atau Jalan Melati No. 26 RT 35 Kelurahan Klandasan Ulu, Balikpapan, Kalimantan Timur.
Mengapa ia akhirnya memutuskan tinggal di Balikpapan? Semata-mata karena menggantikan peran adiknya, Habib Farid bin Abu Bakar Al-Qadri, yang meninggal pada tahun 2006. Habib Farid-lah yang merintis pendirian Majelis Ta’lim Nurul Khairaat lil Muhibbin di Kalimantan dan kemudian berkembang pusat. Sekarang majelis ta’lim ini sudah memiliki 42 cabang di seluruh Kalimantan.
Selain aktif dalam bidang dakwah, seperti majelis ta’lim dan pesantren, Habib Agil juga membuka biro pemberangkatan haji dan umrah.
Ia juga ikut dalam organisasi Bela Negara dari Kementerian Pertahanan RI. “Saya aktif dalam berbagai kegiatan, khususnya dalam amar ma’ruf nahi munkar,” katanya.
Habib Agil pun menerima konsultasi berbagai masalah keluarga maupun pribadi. Banyak yang minta air yang telah ia doai untuk berbagai hajat.
Habib Agil lahir di Palu Utara, Sulawesi Tengah, pada tanggal 6 Maret 1970. Ia dididik agama Islam sejak kecil oleh kedua orangtuanya. Untuk SD dan SMP, ia belajar di sekolah umum di Palu Baru. Kemudian pada tahun 1981 ia berangkat ke Arab Saudi, ikut abahnya, Habib Abu Bakar Al-Qadri, konsulat Indonesia di Arab Saudi yang mengurusi bagian haji. Ia belajar di sekolah internasional di Jeddah yang berada di kedutaan. Di sekolah ini pengantarnya adalah bahasa Arab dan bahasa Inggris.
Kemudian Habib Agil melanjutkan pendidikiannya ke Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, pada 1984, mengambil jurusan Ushuluddin. Di samping itu ia juga
belajar di Sekolah Bahasa Asing di kota yang sama. Habib Agil mempelajari bahasa Inggris dan bahasa Arab. Alasannyaa, karena kajian Islam di Indonesia banyak mengambil sumbernya dari literatur berbahasa Arab, Belanda, dan Inggris.
Tidak puas belajar di Al-Azhar, kemudian Habib Agil melanjutkan belajar ke Belanda. Dengan kemampuan bahasa Belanda yang dipelajarinya di Sekolah Bahasa Asing di Kairo, mudah baginya untuk mengikuti kelas kajian Islam dengan bahasa Belanda.
Ia tinggal di Rotterdam, kota pelabuhan terbesar di Belanda. Kemudian pindah ke Den Haag, baru kemudian ke Amsterdam, ibu kota Belanda.
Karena jiwa petualangannya, pada tahun 1986 ia berangkat ke Italia. Di Negeri Pizza ini, Habib Agil, selain mempelajari bahasa Italia, juga mempelajari ilmu sosial, yang sangat berkembang di negeri itu.
Tak terasa empat tahun ia belajar di Italia, dan benar-benar menguasai bahasa itu dengan baik.
Bukan Aliran Wahabi-nya
Kepada alKisah, Habib Agil dengan bercanda menjawab pertanyaan dengan bahasa Italia, yang tentu saja tidak dimengerti. Kadang, sekadar untuk intermezo, dalam sebuah majelis ta’lim ia pun menggunakan bahasa Italia atau bahasa Belanda.
Di balik canda dan intermezo itu, sesungguhnya ada ibrah yang bisa kita ambil. Yakni, dalam rangka berdakwah, apalagi dalam era globalisasi, pengusaan bahasa asing sangat penting.
Bahkan, dalam pengakuannya, Habib Agil tidak hanya menguasai bahasa-bahasa asing di atas dan bahasa daerah Kaili, Palu Utara, tempat kelahirannya, melainkan juga bahasa Melayu, bahasa Madura, dan bahasa Jawa. Dan karena lama tinggal di Eropa, ia pun lancar berbahasa Prancis.
Pada tahun 1991 ia kembali ke Arab Saudi dan bekerja di Saudi Airport. Di sini, ia mengurusi jama’ah haji yang datang dari luar Arab. Termasuk jama’ah Indonesia. Kemudian ia berpindah ke perusahaan asing, yaitu World Wide, yang menyuplai alat-alat rumah sakit ke Arab Saudi.
Di perusahaan ini, ia tidak lama, karena kemudian ia membuka toko sendiri yang menjual berbagai keperluan rumah tangga di kota Jeddah. Di samping itu, ia juga masih sempat bekerja sebagai agen Arab Saudi yang mengurusi para TKW yang datang ke Arab dan masalah perburuhan. “Saya sering membantu TKW yang tidak punya paspor atau karena suatu hal paspornya hilang,” katanya.
Salah satu prestasinya yang sangat membanggakan adalah andilnya dalam ikut membebaskan TKW Nasiroh dari hukuman mati pada tahun 1994.
TKW yang berasal dari Jawa Barat itu sudah diancam hukuman pancung. Tapi berkat bantuannya bersama tim dari Indonesia, yang tergabung dalam tim pengacara Indonesia di Mahkamah Kubra (Tinggi), alhamdulillah Nasiroh dapat pengampunan Raja, sehingga ia bisa pulang ke Indonesia dengan selamat.
Habib Agil juga ikut dalam suatu maktab haji yang mendapat izin penuh dari Pangeran Muhammad bin Jahawi Al-Saud untuk mengurus para haji Asia Tenggara. Ia tergabung dalam perusahaan Armin Group yang bekerja sama dengan kedutaan Indonesia.
Meski sibuk bekerja di Arab Saudi, Habib Agil masih menyempatkan diri belajar agama. Pertama ia belajar kepada Syaikh Yasin Bugis-Mandar, seorang ulama asal Sulawesi yang tinggal di Makkah dan banyak mengajar murid-murid yang berasal dari Sulawesi. Kemudian kepada Habib Abdul Qadir Assegaf,
khususnya malam Kamis dan malan Jum’at. Pengajian habib kharismatis itu diikutinya dari Makkah, kemudian pindah ke Jeddah.
Di Arab Saudi sendiri ada organisai dakwah yang dinamai “Mabahists Amar Ma’ruf Nahi Munkar”, yang kebanyakan memang dipimpin para ulama Saudi yang beraliran Wahabi. “Namun saya hanya mengambil ilmu pokoknya, seperti tafsir, hadits, dan lainnya. Bukan aliran Wahabi-nya,” tuturnya.
Nurul Khairaat lil Muhibbin
Pada tahun 1996, Habib Agil pindah ke Indonesia, karena di Timur Tengah terjadi Perang Teluk. Irak menginvasi Kuwait, dan sudah mengancam akan
menyerang Arab Saudi. Karena itulah, warga asing yang berada di Saudi cepat-cepat menyelematkan diri untuk keluar dari negeri itu. “Semua harta benda ditinggal, saya punya 14 mobil dan toko, tapi semua barangnya kini saya tidak tahu ada di mana,” kisahnya.
Habib Agil beradaptasi lagi dengan iklim di Indonesia. Ia harus mencari kawan lagi untuk berdagang dan membuka usaha baru. Dan karena yang dikuasainya adalah pengadaan barang ke Arab Saudi, ia pun berusaha menjual berbagai barang yang diperlukan di Saudi, khususnya untuk jama’ah haji dan umrah, seperti pakaian haji atau umrah, mukena, payung, sandal, busana muslim, pakaian ihram, danlain-lain.
Namun semua usaha itu kurang memuaskan bathinnya. Maka akhirnya ia tinggal di Palu, membuka majelis pengajian bersama keluarganya. Majelis itu dinamai “Nurul Khairaat lil Muhibbin”.
Kegiatan majelis itu kemudian meluas ke Kabupaten Donggala sekitar tahun 2000.
Pada tahun 2001, Habib Agil menikah dengan Fitriyah Al-Jawwas. Dari pernikahan itu mereka dikaruniai dua anak: Muhammad Sulthan Wildan Al-Qadri dan Farid bin Agil Al-Qadri.
Sehari-hari kini mereka tinggal di Balikpapan, tepatnya di Jalan Agus Salim atau Jalan Melati No. 26 RT 35 Kelurahan Klandasan Ulu, Balikpapan, Kalimantan Timur.
Mengapa ia akhirnya memutuskan tinggal di Balikpapan? Semata-mata karena menggantikan peran adiknya, Habib Farid bin Abu Bakar Al-Qadri, yang meninggal pada tahun 2006. Habib Farid-lah yang merintis pendirian Majelis Ta’lim Nurul Khairaat lil Muhibbin di Kalimantan dan kemudian berkembang pusat. Sekarang majelis ta’lim ini sudah memiliki 42 cabang di seluruh Kalimantan.
Selain aktif dalam bidang dakwah, seperti majelis ta’lim dan pesantren, Habib Agil juga membuka biro pemberangkatan haji dan umrah.
Ia juga ikut dalam organisasi Bela Negara dari Kementerian Pertahanan RI. “Saya aktif dalam berbagai kegiatan, khususnya dalam amar ma’ruf nahi munkar,” katanya.
Habib Agil pun menerima konsultasi berbagai masalah keluarga maupun pribadi. Banyak yang minta air yang telah ia doai untuk berbagai hajat.
Sumber : http://majalah-alkisah.com/index.php/figur/26-profile-tokoh/1093-habib-agil-bin-abubakar-al-qadri-balikpapan-harta-bukan-tujuan
www.ucapantahunbaru.blogspot.com