Senin, 18 Januari 2010

Habib Hasan bin Umar Baagil Surabaya


Pengasuh Darul Mustafa Jawa Timur

Selain sering mengisi taklim di berbagai daerah pinggiran di Jawa Timur, Habib Hasan juga dikenal sebagai pengasuh Pondok Pesantren Al-Huda, salah satu cabang Ponpes Darul Mustafa, Tarim, Hadramaut.

Usianya baru 30 tahun, tapi reputasinya sebagai ulama dan muballigh sudah diakui oleh kaum muslimin di Surabaya. Ilmu agamanya pun cukup mendalam. Wajar, karena ia adalah salah satu alumnus Ponpes Darul Mustafa, Tarim, Hadramaut. Wajah ulama muda yang shaleh ini, selain ganteng, juga bersih. Tutur katanya halus, dengan gaya yang enak didengar. Seperti kebanyakan habib, ia pun memelihara jenggot, yang dibiarkannya terjurai. Kalau sedang memakai iqamah, ulama muda ini mirip Habib Munzhir Al-Musawa, pengasuh Majelis Taklim Rasulullah di Jakarta.
Dialah Habib Hasan bin Umar Baagil, putra Habib Umar Baagil, salah seorang ulama yang terkenal di Surabaya. Habib Hasan juga dikenal sebagai pengasuh Ponpes Al-Huda, di Jln. K.H. Mas Mansyur 220 Surabaya. Ponpes Al-Huda bisa dikatakan satu-satunya cabang Pondok Darul Mustafa di Jawa Timur.
Lahir di Surabaya, pada 28 Desember 1976, sejak kecil ia selalu berada di lingkungan yang taat beragama. “Sejak kecil saya sering diajak ke berbagai majelis taklim di Surabaya. Dari situ saya mendapat banyak manfaat, antara lain berkah dari beberapa kiai dan habib yang termasyhur,” kenang Habib Hasan.
Bisa dimaklumi, sebab ayahandanya memang dikenal sebagai muballigh yang termasyhur pula. Pengalaman masa kecil itu juga yang mendorongnya selalu memperdalam ilmu agama. “Ketika masih kecil, saya pernah dititipkan ke Ponpes Darut Tauhid di Malang untuk belajar agama. Di Malang, sehari-hari saya tekun belajar agama. Pengalaman yang sungguh mengesankan,” ujarnya dengan senyum khasnya.
Di Ponpes Darut Tauhid ini ia menyelesaikan sekolah sampai tingkat SMA. Sepulangnya dari Malang, ia memperdalam agama pada Ustadz Ahmad Baraja Surabaya. Selama di majelis taklim Ustadz Ahmad Baraja, ia juga sempat belajar pada ayahanda, sang Ustadz Umar bin Ahmad Baraja. ”Beliau adalah salah seorang ulama di kota ini. Cara mengajarnya mengesankan.”
Kemudian, pada 1995 ia berangkat ke Hadramaut dan belajar di Ribath Habib Umar bin Hafidz. Habib Umar bin Hasan sangat bersyukur bisa belajar di pesantren yang mencetak ribuan santri muda terkemuka di seluruh dunia ini serta menjadi benteng Madzhab Syafi’i di Yaman. Muridnya berdatangan dari mana-mana, termasuk Indonesia. “Alhamdulillah, selama di Hadramaut, kami dididik ilmu zhahir dan batin. Gemblengan ilmu agama, seperti fiqih dan tasawuf, sangat ditekankan,” tuturnya.
Selama di Hadramaut, Habib Umar bin Hasan mendapat bimbingan dari Habib Umar bin Hafidz, Habib Abdullah As-Shahab, Habib Salim Asy-Syathiry, dan Habib Hasan Syathiry. Namun guru yang paling berkesan baginya selama di sana adalah Habib Umar bin Hafidz. Habib Umar, menurutnya, bukan sekadar guru biasa, tapi juga sumber inspirasi. “Kalau beliau sedang memberikan wejangan, sangat menyentuh hati, terutama saat berbicara di majelis Maulid,” kata Habib Hasan.
Dan yang paling mengesankan dari sang guru adalah semangatnya dalam berdakwah. “Hampir setiap Senin malam membuat pengajian terbuka yang dinamakan Jalsatul Isnain. Pengajian ini unik, sebab dilaksanakan di jalan raya, yang dihadiri masyarakat kota Tarim,” tambahnya.
Santri-santri dari Indonesia yang ada di Ribath Tarim, di antaranya, Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan, Habib Munzhir Al-Musawa, Habib Ahmad bin Novel, Habib Soleh Al-Jufry (Surakarta).

Kiblat Pelajaran
Selepas lulus dari Darul Mustafa tahun 2003, ia menetap di Surabaya. Ia langsung mengajar di Pesantren Al-Huda, yang saat itu masih diasuh oleh sang ayah. “Dan, karena Ponpes Al-Huda merupakan cabang Ponpes Darul Mustafa Tarim Hadramaut yang ada di Jawa Timur, arah dan kiblat pelajaran Al-Huda sama persis seperti Pondok Darul Mustafa Hadramaut,” ujar bapak satu putra ini.
Untuk menjadi santri Al-Huda, ada beberapa syarat utama. Selain punya kemauan kuat untuk belajar menuntut ilmu bidang fiqih, nahwu, dan hadits, calon santri juga harus sudah bisa memahami berbicara dan menulis bahasa Arab dengan baik. “Syarat utama menjadi santri di Pondok Al-Huda ini adalah umur santri di atas empat belas tahun, laki-laki, bisa membaca Al-Quran, dan mendapat izin dari orangtua atau wali santri,” katanya.
Di Pesantren Al-Huda, para santri mempelajari kitab secara berjenjang, dari yang yang mudah hingga yang paling puncak. Misalnya, dalam ilmu fiqih, para santri mempelajari kitab Risalatul Jami`ah, Safinatun Naja, Al-Muqaddimah Al-Hadramiyyah, Matan Abi Suja’, Az-Zubad, Yaqutun Nafis, `Umdatus Salik, hingga Minhajuth Thalibin, sering disebut salah satu puncak kitab ilmu fiqih Madzhab Syafi’i.
Dalam program bahasa Arab, mereka mempelajari kitab Al-Ajurumiyyah, Mutammimatul Ajurumiyyah, dan Alfiyyah Ibni Malik. Sementara untuk tauhid, para santri mengkaji kitab Aqidatul `Awam, Al-Aqidah, karya Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Dan, dalam bidang hadis, mereka membedah kitab Mukhtarul Ahadis, karya Habib Umar bin Hafidz, dan Arba`in An-Nawawiyyah (empat puluh hadits himpunan Imam Nawawi). Khusus untuk tasawuf, para santri menelaah kitab Risalatul Mu`awanah dan karya-karya lain Habib Abdullah Al-Haddad, serta Bidayatul Hidayah dan Ihya Ulumiddin, karya Imam Ghazali.
Pada perkembangan terakhir, para santri juga mendapat pendidikan keterampilan menggunakan komputer dan latihan pidato. “Ini semua untuk meningkatkan keterampilan santri dalam mengembangkan dakwah,” tambah Habib Hasan.
Selain disibukkan sebagai pengajar Pondok Al-Huda, Habib muda ini juga berdakwah ke masyarakat. Ia dikenal sebagai dai yang banyak disukai kalangan muda, karena materi dakwahnya sering menyentuh persoalan remaja, seperti narkoba, kenakalan remaja, dan lain-lain. Pada setiap hari Senin, Habib Hasan pagi membuka taklim di rumahnya yang diikuti masyarakat sekitar kawasan Kapasan (Jln. K.H. Mas Mansyur), dan tentu saja para santri dari Ponpes Al-Huda.

www.ucapantahunbaru.blogspot.com