Minggu, 24 Januari 2010

K.H. Ammar Faqih Maskumambangi

Ammar Faqih adalah salah seorang ulama yang berasal dari Jawa Timur, pengasuh Pondok Pesantren Maskumambang, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik. Ia banyak menulis tentang masalah-masalah Aqidah, Filsafat dan Fiqih dalam bahasa Arab dan Jawa (Pegon). Antara lain tulisannya adalah Tuhfatul Ummah fil ‘Aqaaid wa Raddi al Mafaasid, yang mendapat sambutan baik dari ulama-ulama di Mesir.

Pemikiran-pemikiran Ammar Faqih, banyak mendapat pengaruh langsung dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, dan dari sini membawa pengaruh yang sangat positif terutama dalam pola penanaman jiwa tauhid di lingkungan Pondok Pesantren Maskumambang sampai saat ini.

Ammar Faqih adalah cucu dari K.H. Abdul Djabbar, pendiri Pondok Pesantren Maskumambang dari putranya yang bernama K.H. Faqih bin Abdul Djabbar. Ammar Faqih dilahirkan pada tanggal 8 Desember tahun 1902 di Kampung Maskumambang, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik, dan meninggal pada hari Selasa malam Rabu tanggal 25 Agustus 1965.

Bersama-sama dengan beberapa orang tokoh seperti K.H. Fatah Yasin (mantan Menteri Sosial), K.H. Wahid Hasyim (mantan Menteri Agama), dan beberapa pengasuh Pondok Pesantren di Indonesia yang pernah nyantri di Maskumambang, Ammar Faqih memperoleh pengetahuan agama dari lembaga pendidikan yang diasuh oleh ayahnya. Materi pengajaran, ditekankan pada masalah-masalah Aqidah, Fiqih, Nahwu, Sharaf, Ushul Fiqih, dan Akhlaq.

Pada tahun 1925, dalam usia remaja, Ammar Faqih berkesempatan memperdalam pengetahuan agamanya. Ia belajar di Mekah selama lebih kurang dua tahun, yaitu dari tahun 1926 sampai dengan tahun 1928 M. dan pada tahun 1931 M. ia belajar Ilmu Falak kepada K.H. Mansur di Madrasah Falakiyah Jakarta. Kemudian tahun 1943, ia mengikuti latihan para kiai selama 20 hari di Jakarta.

Di dalam pengalaman organisasinya –sebelum Ammar Faqih berangkat ke Mekah, atas dasar kemampuan di bidang ilmu yang dimilikinya, ia sudah mendapat kepercayaan untuk memimpin Pondok Pesantren sejak K.H. Faqih bin Abdul Djabbar wafat pada tahun 1937 M. dan pada masa penjajahan Jepang, segala aktivitasnya senantiasa diawasi dan dicurigai. Dan seperti para pemimpin masyarakat yang lain, Ammar Faqih dalam beberapa bulan juga sempat menghuni di dalam penjara Jepang.

Pada masa revolusi fisik, kompleks Pondok Pesantren yang dipimpinnya, digunakan sebagai tempat latihan, sekalian digunakan sebagai markas para pejuang bersenjata yang mundur dari daerah Lamongan, Gresik, dan Surabaya. Karena digunakan sebagai markas, segala aktivitas yang berhubungan tentang perang, baik itu dalam mengatur strategi, taktik dan lainnya, semua dilakukan di dalam kompleks Pondok Pesantren ini.

Pada masa setelah kemerdekaan, dengan dikeluarkannya Maklumat pemerintah yang memberi kebebasan untuk mendirikan Partai, Ammar Faqih pun tidak ketinggalan dalam organisasi tersebut. Salah satu Partai yang kemudian digelutinya adalah Partai Masyumi. Di dalam Partai ini, Ammar Faqih pertama-tama aktif sebagai pimpinan anak cabang di Dukun. Kemudian pada tahun 1959, ia terpilih sebagai ketua DPRD kabupaten Surabaya (sekarang kabupaten Gresik).

Dalam perjalanan organisasi Ammar Faqih selanjutnya, ia ditunjuk sebagai anggota Majelis Syuro Pusat. Namun, setelah dalam tubuh partai tersebut mengalami perpecahan dengan sesama umat Islam, ia lebih baik mengundurkan diri. Dan sampai akhir hayatnya (1965 M.), tenaganya dan hidupnya hanya dicurahkan untuk mengasuh pondok Pesantren.

Mengenai pemikiran-pemikirannya Ammar Faqih, masalah-masalah yang sering dilontarkannya adalah hal-hal yang selalu berkaitan dengan aqidah Islamiyah. Dalam menanggapi kemunafikan misalnya, Ammar Faqih mengemukakan empat faktor. Faktor pertama, Iman dan Islam diterjemahkan dengan –istilah bahasa Jawa– Nyandel (percaya tanpa bukti) dan selam atau sunnat (memotong kulit kemaluan). Kedua, Syahadat bagi mereka (orang Islam) yang dipentingkan adalah mengucapkan. Ketiga adalah Istikat disamakan dengan anggapan, dan yang keempat; Ilah diartikan pangeran.

Atas dasar kenyataan tersebut, ia berkesimpulan bahwa menghukumi Islam atas sembarang orang dengan alasan pernah nikah di hadapan penghulu adalah tidak benar. Alasan yang dikemukakan Ammar Faqih adalah karena cara seperti itu sekadar mematuhi peraturan pemerintah lagi pula ucapan syahadat tersebut didikte pada saat akan melangsungkan nikah.

Dalam masalah filsafat, Ammar Faqih menekankan beberapa masalah. masalah pertama yaitu Burhan. Masalah Burhan sebagai pengkajian masalah akal, menemukan hukum bahwa sesuatu itu dianggap mustahil, atau sesuatu itu dianggap wajib, atau sesuatu itu mungkin (boleh ada dan boleh tidak). Kedua, adalah Musyahadat; hukum yang diterima oleh akal ketika merasakan sesuatu dengan indera.

Ketiga adalah Mujarrabat, adalah hukum yang diterima oleh akal dari percobaan yang berulang-ulang, dan keempat, Mutawaafitaat, yaitu hukum yang diterima oleh akal dari berita kenyataan yang tidak dapat dihitung pemberitaannya. Kelima, Hadatsiyah, yaitu hukum yang diterima oleh akal ketika ditampakkan sesuatu dengan panca indera lahir. Dan yang keenam, Mahsuusat, yaitu hukum yang diterima oleh akal menurut keadaan lahir.

Dalam masalah Fiqih, dari pemikiran-pemikiran Ammar Faqih menegaskan bahwa orang Islam dapat berpegang pada pemikiran para imam mujtahid dengan tanpa mewajibkan umat Islam untuk taklid kepada salah satu madzhab.

Di dalam hidupnya, Ammar Faqih merupakan seorang yang sangat produktif dalam hal penulisan. Banyak karya tulis yang sudah diselesaikannya dan bahkan ada yang sudah dicetak untuk disebarluaskan ke seluruh masyarakat. Di antara karya-karya dari karangannya adalah;
1.
Tuhfatul Ummat.
2. Ar Raddu wan Nawadhir
Sebuah Kitab yang memakai bahasa Arab dan diterbitkan di Mesir tahun 1354 H./1935 M. Di dalam Kitab ini, mengupas tentang masalah-masalah fiqhiyyah terutama masalah berbilangan tempat shalat Jum’at yang sebelumnya pernah diperselisihkan beberapa ulama Jawa Timur dalam mentekel kasus Masjid Dukun Majid Sembungan.
3. Al Fashlul Mubin
4.
Nurul Islam
5.
Al Hujjatul Bao’ighoh
6. Filsafat Ketuhanan
Buku ini merupakan karya yang ditulis dengan mamakai bahasa Indonesia yang mengupas tentang masalah ketuhanan dan agama. Buku ini lebih kecil di bandingkan dengan kitab-kitab yang lainnya. Di dalam buku ini, Ammar Faqih membagi Hujjah menjadi dua; yang pertama adalah Hujjah Naqliyah dan yang kedua Hujjah Aqliyah. Hujjah Aqliyah, bagi dia, meliputi Jadal, Khathabah, Syi’r, dan Burhan.
Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Pandawa pada tahun 1955. Menilik tahun penerbitan buku tersebut, diduga bahwa hasil pemikirannya tersebut adalah mempunyai kaitan yang sangat erat dengan konsep dasar negara.
7. Shilatul Ummah
Merupakan sebuah Kitab yang masih dalam bentuk tulisan tangan dengan menggunakan bahasa Jawa. Di dalam buku ini, Ammar Faqih coba menjelaskan tentang pentingnya al-Qur’an dan as-Sunnah. Ia memaparkan, bahwa sebab-sebab terjadinya perpecahan yang menimpa ummat Islam, pada dasarnya adalah kurang memahami, mematuhi dan mengamalkannya mereka terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah serta mengabaikan ulama.
Buku ini diterbitkan oleh Balai Kursus Kilat, tanggal 19 Rajab 1379 H. atau 18 Januari 1960.
8. Hidayatul Ummat
Sebuah buku yang telah selesai diterjemahkan oleh K.H. Adenan Nur dan K.H. Bey Arifin. Karena pokok buku tersebut menuntun manusia kepada keimanan kepada Allah, maka buku tersebut disalin dengan judul Jadilah Mu’min Sejati. Di dalam buku ini dijelaskan bahwa setelah seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai kebulatan tekad, maka selanjutnya dituntut untuk menyatakan kesanggupan untuk mengupas kekufuran yang dilakukan sebelumnya. Di dalam halaman judul aslinya tertera dengan judul Tuhfatul Ummat, padahal menurut penerjemahnya adalah Hidayatul Ummah.
9.
Tahdidu Ahli Sunnah wal Jama’ah.
Ini adalah sebuah buku yang ditulis dengan memakai bahasa Arab yang pada mulanya ditulisnya buku ini, hanya dalam rangka memberikan jawaban pertanyaan-pertanyaan tertulis dari salah seorang guru agama yang pada pokoknya mengharapkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
a. Apakah definisi Ahli Sunnah Wal Jama’ah
b. Definisi tersebut bukan hanya menyangkut masalah ushuluddin, termasuk juga ahli madzhab empat dalam masalah furu’.
c.Tentang wajibnya madzhab bagi orang yang belum sampai ke tingkat ijtihad.
Buku ini selesai ditulis pada pertengahan Bulan Jumadil Awwal tahun 1381 H. setelah itu, oleh Aden Nur dimuat dalam majalah “Muslimin” dari nomor 110 sampai dengan 117. Penerjemah kitab ini, masih memiliki karya nasjah asli yang masih berupa tulisan tangan.[]

www.ucapantahunbaru.blogspot.com