Senin, 25 Januari 2010

KH. Munawwir Krapyak Yogyakarta

MUARA PENGAJARAN TAHFIZH AL-QURAN

Namanya disebut-sebut dalam mata rantai guru-guru Al-Quran terkemuka di tanah air. Ia juga menjadi salah satu muara keilmuan pesantren Al-Quran di Nusantara.

Matahari belum lagi sepenggalah. Sekelompok pemuda berkopiah hitam, baju koko dan kain sarung duduk bersimpuh di serambi sebuah rumah. Dengan tertib dan penuh ta’zhim pemuda beragam usia itu membentuk empat barisan memanjang. Di hadapan mereka duduk seorang ulama sepuh kharismatik yang mengenakan kain sarung, baju dan kopiah putih serta sorban yang dikerudungkan.

Satu persatu, puluhan pemuda tanggung itu membacakan ayat demi ayat Al-Quran, di luar kepala. Sepertinya tidak mudah. Terlihat dari begitu kerasnya para santri itu berusaha mengeja kata demi kata dalam kitab suci secara perlahan, benar dan fasih. Tidak jarang urat-urat leher mereka menonjol keluar, mengiringi keringat yang membanjiri tubuh. Ada juga ayat yang harus diulang berkali-kali karena menurut pandangan sang kiai belum sesuai menurut kaidah tajwid.

Begitulah pemandangan sehari-hari di pesantren Sunan Pandanaran, Sleman, Yogyakarta. Pengajian Al-Quran di pesantren yang diasuh K.H. Mufied Mas’oed itu memang sangat khas. Ia mewakili gambaran sebagian besar pesantren tradisional tahfizhul Quran, penghafalan Al-Quran, yang tersebar hampir di seluruh pulau Jawa, dan Madura.

Termasyhur dengan disiplin bacaan yang sangat ketat dan teliti, pola pengajaran di pesantren Sunan Pandanaran dan beberapa pesantren tahfizhul Quran besar lain di jawa bermuara kepada satu nama, K.H.M. Moenauwir, pendiri Pesantren Krapyak, Yogyakarta.

Di paruh pertama abad dua puluh, bisa dibilang Krapyak adalah tujuan utama santri-santri yang ingin menghafalkan Al-Quran. Dan di Krapyak, sosok kharismatik mbah Moenauwir lah yang merupakan inti magnetnya.

Kiai sepuh kelahiran Kauman Yogyakarta itu memang luar biasa. Tanda-tanda akan menjadi ahli Al-Quran sudah nampak sejak putra Kiai Abdullah Rosyad itu masih kecil. Ia telah mengkhatamkan Al-Quran sebelum usianya menginjak delapan tahun.

Moenauwir kecil, yang merupakan cucu Kiai Kasan Besari (senopati Pangeran Diponegoro untuk wilayah Kedu), juga pernah ditantang ayahandanya untuk mengkhatamkan pembacaan Al-Quran dalam waktu satu minggu. Waktu itu ia dijanjikan akan diberi hadiah Rp. 150,00 bila mampu. Ternyata Moenauwir berhasil memenuhi tantangan tersebut. Bahkan sejak itu ia selalu istiqamah mengkhatamkan Al-Quran seminggu sekali, meski tanpa hadiah.

Kehandalannya dalam membaca Al-Quran dengan fasih bahkan diakui gurunya, Kiai Kholil Bangkalan. Ketika usianya hampir menginjak 10 tahun, orang tuanya mengirim Moenauwir kecil untuk nyantri Pesantren Demangan, Bangkalan, Madura. Mengetahui kefasihan salah seorang santrinya dalam membaca kalam ilahi, Kiai Kholil memerintahkan Moenauwir untuk mengimami shalat jamaah. Sementara Kiai Kholil sendiri berdiri sebagai makmum di belakangnya.

Bermukim di Haramain
Selepas dari Bangkalan, Kiai Moenauwir mengaji ke beberapa ulama besar seperti Kiai Soleh Darat, Semarang, dan Kiai Abdurahman, Watucongol, Muntilan, Magelang. Usai mengaji di beberapa pesantren, tahun 1888 Moenauwir muda pun bermukim di Al-Haramain selama 21 tahun.

Enam belas tahun pertama dihabiskan Moenauwir di Makkah khusus untuk mempelajari dan mendalami Al-Quran beserta cabang keilmuannya. Beberapa gurunya yang mengajarkan tahfizh, tafsir dan qiraat sab’ah di Makkah antara lain Syaikh Abdullah Sanqoro, Syaikh Sarbini, Syaikh Mukri, Syaikh Ibrahim Huzaimi, Syaikh Manshur, Syaikh Abdus Syakur dan Syaikh Musthofa.

Karena kecemerlangannya dalam mengaji, guru qiraat sab’ahnya, Syaikh Yusuf Hajar, memberinya ijazah sanad qiraah yang bersambung hingga Rasulullah: sesuatu yang sangat jarang didapatkan murid-murid Syaikh Yusuf karena sangat sulit persyaratannya. Dalam silislah tersebut Kiai Moenauwir berada pada urutan ketiga puluh lima. Ada juga sanad lain yang diperolehnya dari Syaikh Abdul Karim bin Umar Al-Badri Ad-Dimyathi, yang sedikit lebih pendek.

Untuk memantapkan hafalan Al-qurannya, Kiai Moenauwir juga melakukan riyadhah berjenjang. Tiga tahun pertama ia mengkhatamkan Al-Quran setiap tujuh hari sekali. Tiga tahu kedua ia mengkhatamkan Al-Quran tiga hari sekali. Dan tiga hari ketiga Kiai Moenauwir mengkhatamkan Al-Quran setiap hari. Riyadhah tersebut ditutup dengan membaca Al-Quran tanpa henti selama 40 hari 40 malam. Riyadhah tersebut, menurut Kiai Nur Kertosono buku Sejarah Perkembangan Krapyak, membuat mulut Kiai Moenauwir sempat terluka dan mengeluarkan darah.

Usai tirakat, Kiai Moenauwir lalu melanjutkan pengajian ilmu-ilmu syariat lain, seperti fiqih dan tauhid, di Madinah selama lima tahun berikutnya. Setelah itu barulah ia pulang ke kampung halamannya di Kauman, Yogyakarta.

Di Kauman ia membuka sebuah pengajian kecil di langgarnya, menambah semarak pengajian-pengajian Al-Quran di lingkungan keraton tersebut. Tahun 1909, karena jumlah santrinya semakin banyak, Kiai Moenauwir memindahkan pesantrennya ke kampung Krapyak. Menurut beberapa sumber kepindahan tersebut juga dilakukan ayahanda Kiai Warson, penyusun kamus Al-Munawwir, itu untuk menghindari kewajiban seba kepada sultan.

Pesantren Krapyak diawali dengan sepuluh orang santri dan mencapai jumlah enam puluh orang pada sepuluh tahun pertama. Setelah tahun 1920 jumlah santri Krapyak berkembang dengan sangat pesat hingga mencapai ratusan orang.

Santri-santri Kiai Moenauwir generasi awal itulah yang kemudian mengembangkan pengajian tahfizhul Quran ke seluruh penjuru tanah air. Beberapa pesantren kemudian berkembang pesat. Sebut saja Pesantren Yanbu’ul Quran, Kudus (didirikan K.H. Arwani Amin), Pesantren Al-Muayyad, Mangkudan, Solo (didirikan K.H. Ahmad Umar), Pesantren Al-Asy’ariyah, Kalibeber, Wonosobo (K.H. Muntaha), Pesantren Kempek, Cirebon (K.H. Umar Sholeh), Pesantren Benda Bumiayu, Brebes (K.H. Suhaimi) dan lain-lain. Termasuk juga Kiai Moefid Mas’oed pendiri dan pengasuh pesantren Sunan Pandanaran, Sleman, yang tidak lain adalah menantu Kiai Moenauwir.

Dua Tahun
Mengaji gaya Krapyak memang tidak mudah. Selain haru memperhatikan benar panjang-pendeknya bacaan, pengucapan huruf (makharijul huruf) juga diawasi dengan sangat ketat. Tidak jarang untuk mampu membaca Surah Al-Fatihah dengan benar, seorang murid harus menghabiskan waktu berbulan-bulan. Bahkan pada masa Kiai Moenauwir, pernah ada santri yang menghabiskan waktu sampai dua tahun untuk membaca surah Al-Fatihah dengan baik dan benar.

Apalagi jika ingin mendapatkan ijazah silsilah sanad Al-Quran dari Kiai Moenauwir. Bukan hanya kemampuan membaca dan menjaga hafalan yang menjadi tolok ukur, tetapi juga perilaku selama nyantri di Krapyak. Ketatnya persyaratan memperoleh ijazah sanad belakangan juga diberlakukan kiai-kiai alumni Krapyak terhadap para santrinya.

Meski tidak semuanya mengantongi ijazah sanad, namun pesantren-pesantren alumni Krapyak tetap saja merupakan produsen terbesar huffazh di tanah air. Pesantren Sunan Pandanaran, misalnya, setiap tahunnya mewisuda tidak kurang dari tiga puluh orang santri huffazh. Demikian pula di Pesantren Al-Munawwir Krapyak, dan Al-Asy’ariyyah, Kalibeber, Wonosobo.

Karena bersumber dari satu almamater, program pengajian Al-Quran di pesantren-pesantren tahfizhul Quran di Jawa pun rata-rata sama. Diawali dengan tahfizh juz 30 atau juz ‘Amma, kemudian disusul program bin nazhar atau membaca 30 juz dengan tartil. Dua program tersebut wajib diikuti seluruh santri. Setelah khatam bin nazhar, barulah santri dapat mengikuti program bil ghaib atau tahfizh 30 juz.

Semua jenjang pengajian tersebut menggunakan metode pengajaran mushafahah atau sorogan, yakni satu persatu santri menghadap gurunya untuk menyetorkan bacaan atau hafalannya. Untuk program Juz ‘Amma, setoran saat mengaji biasanya per surah. Sedangkan untuk program bin nazhar batas setoran adalah per maqra’. Lain lagi dengan program bil ghaib 30 juz yang setoran mengajinya dihitung per halaman. Sebelum diijinkan meneruskan oleh sang guru, para santri akan terus mengulang-ulang bacaan atau hafalan sebelumnya.

Agar seragam, pesantren-pesantren tahfizhul Quran alumni Krapyak biasanya menggunakan Al-Quran yang sudah ditash-hih Kiai Arwani Amin, Kudus. Al-Quran tersebut lazim disebut “Al-Quran Ayat Pojok”, karena setiap halamannya ditutup dengan akhir ayat, sehingga tidak ada potongan ayat yang berada di halaman berikutnya. Ini untuk memudahkan santri dalam menentukan batas menghafal atau menyetorkan hafalan.

Melihat masih cukup besarnya jumlah para penghafal Al-Quran yang diwisuda setiap tahunnya, sepertinya umat Islam di tanah masih bisa bernafas lega. Setidaknya satu atau dua dasawarsa ke depan negeri ini masih akan terus berhias lantunan ayat-ayat suci Al-Quran yang tersimpan dengan baik di dalam dada para huffazh. Semoga ! (Kang Iftah)

www.ucapantahunbaru.blogspot.com