Senin, 04 Januari 2010

Mimpi Kyai Hamim dan Dzikir Haddad

Mimpi seseorang kadangkala menjadi isyarat dalam kehidupan nyata, apalagi dialami oleh seorang ulama pasti membawa hikmah atau sebuah isyarat, hanya Allah yang Maha Tahu, sedangkan manusia tidak bisa memastikannya. Tetapi dari mimpi beliau, melahirkan sesuatu yang bermanfaat.



Pada suatu malam KH. Hamim ini bercerita seputar mimpi yang dialaminya kepada keluarganya. Katanya, ia seolah berjalan di pematang sawah bersama dua orang kyai yang mendampinginya.



Kyai yang pertama adalah KH. Siradj (kakek dari Prof. DR. Aqil Siradj) dari Pesantren Gedongan dan satunya lagi oleh KH. Dahlan dari Pesantren Benda Kerep. Ketiga Kiai ini memang memiliki hubungan keluarga yang amat dekat. KH. Hamim merupakan keponakan KH. Ahmad Said dari Pesantren Gedongan. KH. Ahmad Said hidup sezaman dengan KH. Abdul Djamil, Hadratus syekh KH. Hasyim Asy`ari dan Mbah Cholil Madura. Sementara KH. Siradj adalah putra dari KH. Ahmad Said.



Dalam mpimpinya ini, saat menikmati perjalanan meniti pematang sawah itu tiba-tiba KH. Hamim terpeleset kakinya dan terjatuh ke sawah. Anehnya, pada saat yang bersamaan kedua kyai yang mengiringinya itu ikut terpeset. Baik KH. Siradj maupun KH. Dahlan hampir berbarengan jatuhnya. Walhasil, ketiganya tercebur ke sawah. Itulah isi cerita yang dialami KH. Khamim seperti dituturkan kepada keluarganya.



Jika mimpi adalah tanda-tanda, maka tanda-tanda itu menjadi kenyataan selang beberapa hari kemudian. KH. Hamim benar-benar menderita sakit sampai akhirnya wafat. Pada hari wafatnya itu, Buntet Pesantren banyak sekali dikunjungi para tamu yang bertakziyah, terlebih keluarga besar dari pesantren Gedongan tumpah ruah ke Buntet. Hadir juga pada hari itu Habib Ali yang amat masyhur karomahnya dari Jatibarang Brebes. Jenazah Almarhum KH. Hamim dimandikan oleh KH. Ma`sum dan KH. Dimyati serta dishalatkan di Masjid Jami` Buntet Pesantren.



Seperti biasanya para ulama dan warga Buntet begitu selesai shalat, kemudian ada dzikir dan isyhad. Rupanya kepergian KH. Hamim ini menjadi perhatian banyak kalangan sebab yang hadir bukan saja dari Buntet tetapi dari keluarga besar Gedongan ikut hadir. Selesai shalat jenazah, Habib Ali dari Jatibarang memimpin pembacaan dzikir yang berbeda dari biasanya, tetapi amat menarik perhatian seluruh kiai dan warga Buntet. Dalam suasana duka dan hidmat dzikir itu dikumandangkan amat menyentuh rasa keimanan. Ajaran tauhid pada bait-baitnya menggugah dan menimbulkan kesadaran betapa fana dan rapuhnya seorang makhluq di hadapan Sang Khaliq. Lafadz demi lafadz dibacakan oleh Habib Ali membuat terkesima seluruh jama`ah.



Salah seorang kiai Buntet pada waktu itu, KH. Akyas Abdul Djamil sangat tertarik dengan dzikir tersebut. Beliau kemudian minta ijazah kepada Habib Ali untuk mengamalkannya. Hingga saat ini dzikir tersebut dikenal dengan “Dzikir Haddad” yang selalu dibacakan oleh KH. Abdullah Syifa putra dari KH. Akyas Abdul Djamil setiap selesai shalat jenazah bagi warga Buntet Pesantren.



Namun tiba-tiba belum selesai prosesi pengurusan jenazah kyai Hamim ini, ada berita yang amat mengejutkan yaitu wafatnya KH. Siradj Gedongan. Padahal keluarga besar Gedongan masih ta`ziah di Buntet. Suasana panik penuh haru menyelimuti keluarga Buntet dan Gedongan. Selang beberapa jam kemudian, ada lagi satu berita duka datangnya dari daerah Benda Kerep bahwa KH. Dahlan wafat. Innalillah wa innaa ilihi rajiun dalam satu hari ada 3 kiai bersaudara wafat bersamaan persis seperti yang dituturkan KH. Khamim dalam mimpinya, di mana beliau berjalan di sawah dan ketiganya jatuh bersamaan.



Semoga Allah memulyakan tiga orang Kiai yang bersaudara itu dan semoga pula Allah memperkokoh ikatan persaudaraan bagi keturunan-keturunannya. Amin. Wallahu a`lam. (Drs. H. Dhabas Rakhmat)

www.ucapantahunbaru.blogspot.com