Selasa, 05 Januari 2010

Sedikit Kisah Tentang Bulan Muharram

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (Maksudnya ialah: bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri (Maksudnya janganlah kamu menganiaya dirimu dengan mengerjakan perbuatan yang dilarang, seperti melanggar kehormatan bulan itu dengan mengadakan peperangan) kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al Taubah: 36)

Muharram merupakan bulan yang sangat berpengaruh pada sejarah kehidupan umat Islam. Suatu bulan yang menjadi pembuka tahun dalam kalender Islam, Hijriyah. Suatu bulan yang penuh barokah dan rahmah, karena bermula dari bulan inilah –menurut dunia Islam- berlakunya segala kejadian alam ini. Bulan Muharram juga termasuk salah satu dari empat bulan yang dimuliakan Allah dalam al Qur’an (Al Taubah: 36).

Secara otomatis bulan Muharam merupakan bulan yang menyimpan banyak sejarah kehidupan umat. Di mana pada bulan itu Allah SWT banyak menurunkan peristiwa yang patut dikenang bagi umat sebagai rasa syukur atas kenikmatan yang diberikan, karena peristiwa-peristiwa yang terjadi pada bulan tersebut dapat memberikan banyak inspirasi bagi kelangsungan hidup umat manusia di muka bumi ini.

Meskipun demikian, di sana kadang timbul pertanyaan dalam benak kita, kenapa penetapan awal tahun dalam Islam berdasarkan hijrah Rasul Muhammad saw? Apakah karena dalam hijrah tadi terdapat sesuatu yang sangat urgen untuk dikenang? Bukankah selain hijrah masih ada beberapa peristiwa yang tidak kalah pentingnya dengan hijrah tadi? Seperti kelahiran atau wafat Rasul saw, peristiwa awal penerimaan wahyu, peristiwa Isra’ & Mi’raj yang mendatangkan perintah shalat wajib lima waktu, di mana hal itu merupakan tonggak atau tiang agama (Ashsholatu ‘imaduddin). Pun tak kalah pentingnya peristiwa penaklukan kota Mekah yang menjadi pusat persatuan dan kesatuan umat Islam, dan masih banyak lagi beberapa peristiwa lainnya yang berpengaruh pada eksistensi Islam di muka bumi ini. Namun, kenapa harus bersandar pada hijrah Rasul Muhammad saw kalender Islam itu ditetapkan?

Bulan Muharram Dalam Sejarah

Tradisi penanggalan Hijriyah dirintis pada masa kekhalifahan Umar Bin Khattab RA. Pada waktu itu muncul wacana diperlukannya penanggalan yang baku dan seragam untuk berbagai urusan kenegaraan dan kemasyarakatan. Kemudian, muncullah berbagai usulan dari para Sahabat. Pada akhirnya disepakati bahwa peristiwa hijrah Nabi SAW dari Makkah menuju Madinah dijadikan patokan dalam perhitungan awal tahun kelender Islam.

Dalam sejarahnya, Khalifah Umar bin Khattab (13-23 H/634-644 M) pernah menerima surat dari Gubernurnya di Bashra Abu Musa Al Asy’ari yang menyebutkan pada awal suratnya berbunyi: “……menjawab surat Tuan yang tidak tertanggal…..”. Perkataan pendek yang tampaknya tidak begitu penting telah menarik perhatian Khalifah Umar, yaitu perlunya umat Islam mempunyai penanggalan yang pasti. Hingga akhirnya diadakan musyawarah khusus untuk menentukan kapan awal tahun baru Islam.

Dalam musyawarah yang dihadiri oleh para tokoh-tokoh terkemuka dari kalangan sahabat itu, muncul beberapa usulan untuk menentukan kapan dimulainya tahun baru Islam. Di antara usulan tersebut terdapat pendapat yang mengatakan penanggalan Islam dihitung dari peristiwa penyerangan Abrahah terhadap Ka’bah, yang dikenal dengan sebutan “Amul Fiil” (tahun Gajah) dan itu sudah sering dipakai. Ada yang menyarankan penanggalan Islam dihitung dari turunnya wahyu pertama kepada Rasulullah SAW, di mana waktu itu beliau secara resmi dilantik oleh Allah SWT sebagai Nabi dan Rasul untuk seluruh umat. Ada juga yang mengusulkan penanggalan Islam dihitung dari wafatnya Rasululah saw, dengan alasan pada waktu itu diturunkan wahyu terakhir yang menegaskan bahwa Islam sebagai agama yang sempurna. Dan ada pula yang berpendapat bahwa penanggalan Islam dihitung dari hijrahnya Rasullah saw dari Mekah ke Madinah, dengan alasan karena peristiwa itu merupakan pintu masuk kehidupan baru bagi Rasulullah SAW dan umatnya dari dunia kemusyrikan menuju dunia tauhid (Islam).

Setelah lama musyawarah bersama dengan berbagai pendapat dan argumentasi masing-masing, akhirnya disepakati bahwa usulan terakhir itu yang diterima (penanggalan Islam dihitung dari hijrahnya Rasullah saw dari Mekah ke Madinah), yang kemudian diumumkan oleh khalifah bahwa tahun baru Islam dimulai dari Hijrah Rasulullah Ssw dari Makkah ke Madinah.

Menariknya, meskipun awal bulan Muharram merupakan awal tahun bagi tahun Hijriyah, ternyata Muharram bukan awal permulaan hijrah Nabi SAW. Soalnya hijrah beliau jatuh pada permulaan bulan R. Awwal tahun ke-13 kenabian (14 Sept 622 M), bukan pada awal Muharram. Sedangkan antara permulaan hijrah Nabi Saw dan permulaan kalender Islam (Muharram) sesungguhnya terdapat jarak sekitar antara 62-64 hari, dan antara keduanya terdapat bulan Shafar.

Dalam kitab tarikh Ibnu Hisyam dinyatakan bahwa keberangkatan hijrah Rasulullah dari Mekah ke Madinah pada akhir bulan Shafar, dan tiba di Madinah pada awal bulan R. Awal. Jadi bukan pada tanggal 1 Muharram sebagaimana anggapan sebagian orang.

Adapun penetapan Bulan Muharram sebagai awal tahun baru dalam kalender Hijriyah adalah hasil musyawarah para sahabat nabi SAW pada zaman Khalifah Umar bin Khatthab ra saat mencanangkan penanggalan Islam. Pada saat itu ada yang mengusulkan R. Awal sebagai awal tahun dan ada pula yang mengusulkan bulan Ramadhan. Namun kesepakatan yang muncul saat itu adalah bulan Muharram, dengan pertimbangan bahwa pada bulan itu telah bulat keputusan Rasulullah saw untuk hijrah ke Madinah pasca peristiwa Bai’atul Aqabah (ikrar penduduk Madinah yang datang ke Mekah untuk masuk Islam). Di mana saat ada 75 orang Madinah yang ikut baiat untuk siap membela dan melindungi Rasulullah SAW, jika beliau datang ke Madinah di kemudian hari. Dengan adanya bai’at ini, Rasulullah SAW pun melakukan persiapan untuk hijrah, dan baru dapat terealisasi pada bulan Shafar, meski ancaman maut dari orang-orang Quraisy senantiasa mengintai beliau.

Betapa besar dan berat perjuangan Rasul SAW waktu itu hingga setiap datang tanggal 1 Muharram, ingatan kita terlukis kembali pada puncak perjuangan beliau SAW 14 abad silam. Suatu perjuangan untuk membebaskan kaum muslimin dari kezaliman dan tindakan sewenang-wenang yang menimpa mereka dikarenakan tindakan orang-orang kafir tersebut semakin hari semakin meningkat pada taraf yang sangat membahayakan masa depan Islam dan kaum muslim. Dengan izin Allah SWT, Rasulullah SAW beserta para sahabatnya yang setia, akhirnya meninggalkan tanah kelahirannya yang tercinta Makkah Al-Mukarramah untuk pindah ke negeri yang baru yaitu Yastrib (Madinah). Perpindahan beliau dari Makkah ke Yastrib inilah yang disebut “hijrah”, dan oleh Khalifah Umar bin Khattab dijadikan momentum dan starting point, pangkal tolok perjalanan sejarah Islam, dengan ucapannya: “Hijrah itu memisahkan antara yang hak dengan yang batil, karena itu jadikanlah catatan sejarah”.

Hijrah Sebagai Penetapan Kalender Islam

Peristiwa hijrah Rasul Allah Muhammad saw dan para sahabatnya, bisa kita ambil sebagai suatu pelajaran berharga dalam kehidupan kita. Betapapun berat menegakkan agama Allah SWT, tetapi seorang muslim tidak layak untuk mengundurkan diri untuk berperan di dalamnya.

Dalam sejarahnya, malam itu (menjelang hijrah) Rasulullah SAW akan keluar dari rumah. Sementara di luar rumah, orang-orang yang ingin membunuhnya sudah menunggu. Dengan izin Allah SWT (waja’alna min baini aidihim saddan wa min kholfihim saddan fa’aghsyainahum, fahum la yubshirun), baginda Nabi SAW bisa melewati para musuh yang telah mengepung rumahnya tadi dengan selamat.

Meskipun berhasil melewati mereka, beliau tetap harus bersembunyi dahulu di sebuah goa (tsur) karena musuh masih tetap mengejar. Namun mereka tidak berhasil dan beliau dapat meneruskan perjalanannya. Meskipun demikian pengejaran tetap dilakukan, tetapi Allah menyelamatkan beliau dan juga Abu Bakar yang menemaninya hingga sampai di Madinah dengan selamat. “Allah senantiasa akan menolong hambaNya selama ia mau menolong agamaNya”.

Perjalanan dari Mekah ke Madinah yang melewati padang pasir yang tandus dan gersang, telah beliau lakukan demi sebuah perjuangan yang menuntut sebuah pengorbanan. Namun beliau yakin bahwa dibalik kesulitan ada kemudahan “inna ma’al ‘usri yusron…”.

Begitu tiba di Madinah, dimulailah fase kehidupan baru dalam sejarah perjuangan Islam. Perjuangan demi perjuangan beliau lewatkan bersama para sahabat. Menyampaikan wahyu Allah, mendidik manusia agar menjadi masyarakat yang beradab dan terkadang harus menghadapi musuh yang tidak menginginkan akan hadirnya agama baru (Islam). Tidak jarang beliau turut serta ke medan perang untuk menyambung nyawa demi tegaknya agama Allah SWT, hingga Islam tegak sebagai agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk dunia saat itu. Lalu sudahkah kita berbuat untuk agama kita?

Jika dicermati dan direnungi dengan seksama apa yang terjadi dalam sejarah hijrah tersebut, pemilihan hijrah sebagai titik perhitungan kalender Islam sangatlah tepat. Di mana penetapan tersebut didasarkan pada esensi dari peristiwa hijrah itu sendiri, yaitu suatu gerakan umat secara kolektif dari dunia kegelapan kufur menuju kondisi yang lebih baik (Islam).

Daya revolusi dengan hijrah sebagai inspirasinya, tidak mungkin terjadi jika umat tidak menyediakan ruang koreksi bagi diri sendiri. Kita bisa sepakat bahwa pertambahan usia manusia berbeda dengan usia mobil yang kian bertambah. Manusia tua tidak sama dengan mobil tua. Jika mesin secara perlahan mengalami kerusakan mekanis, aus, berkarat, dan sebagainya, maka semua itu beda dengan manusia. Hakikat usia manusia terletak pada kesempatan untuk membentuk sikap dewasa dari masa ke masa.

Jika asumsi tersebut bisa diterima secara kolektif, usia peradaban manusia yang kian menua harusnya menuju pada kematangan atau kedewasaan. Namun, tampaknya yang terjadi tidak selalu demikian. Manusia kini memang banyak mengaku dirinya modern, namun sering alpa jika mereka adalah bagian dari alam semesta yang fana.

Arti Muharram

Kata Muharram, secara etimologinya diambil dari kata Arab “Harrama-Yuharrimu-Tahriiman-Muharrimun-wa-Muharramun”, yang berarti “diharamkan”. Yakni, Muharram adalah sesuatu yang dihormati / yang terhormat dan yang diharamkan (dari hal-hal yang tidak baik). Sebagaimana tertulis dalam sejarahnya, bahwa pada bulan Muharram ini umat Muslim diharamkan Allah untuk berperang.

Bulan Muharram adalah bulan yang pertama dan salah satu dari 12 bulan dalam kalender hijriah yang tercantum pada Kitabullah, sejak Allah SWT menjadikan alam semesta. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (Maksudnya ialah: bulan Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri (Maksudnya janganlah kamu menganiaya dirimu dengan mengerjakan perbuatan yang dilarang, seperti melanggar kehormatan bulan itu dengan mengadakan peperangan) kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al Taubah: 36).

Adapaun kata-kata “hijrah” dan pecahan katanya, dalam Alqur`an ada lebih dari 30 kata. Kata-kata hijrah dirangkai dengan kata-kata “iman” dan “jihad”. Hal itu menunjukkan bahwa hijrah itu adalah suatu tingkat dalam perjuangan (jihad) yang berlandaskan kepada keimanan. Firman Allah SWT: “Orang-orang yang beriman, yang berhijrah dan berjihad pada jalan Allah dengan harta benda dan dirinya, lebih tinggi derajatnya pada sisi Allah, Mereka itulah orang-orang yang menang. Tuhan menyampaikan berita gembira kepada mereka dengan beroleh rahmat, ridhaNya dan surga yang di dalamnya mereka memperoleh nikmat yang abadi”. (QS. At-Taubah: 20-21).

Derajat yang tinggi dari Allah SWT tersebut merupakan penghargaan bagi orang-orang yang berjuang, berjihad dan berkurban demi agamaNya. Perjuangan harus dilandasi dengan iman yang kuat dan mendalam. Jihad adalah upaya dengan sungguh-sungguh sehingga nampak jelas garis pemisah antara yang hak dan yang batil.

Pada tahun baru Hijriyah, Muharram, bagi orang yang tidak atau kurang mengerti tentang Islam, mereka akan memperingatnya dengan cara yang kurang tepat karena bertitik tolak dari anggapan yang kurang tepat pula. Mereka yang demikian tersebut menganggap Muharram (syura) adalah bulan keramat, angker, atau naas dan berbahaya. Oleh karena itu, peringatan yang diadakan juga bermacam-macam, antara lain; begadang semalam suntuk, berjalan (pawai) semalam suntuk, mengadakan sesaji ke laut atau tempat-tempat yang dianggap keramat, mandi keramas (berendam) supaya awet muda, memandikan (marangi) pusaka, seperti keris, tombak dan lain sebagainya.

Demikian itu mereka lakukan karena menurut keyakinannya, mereka takut celaka, takut kena musibah, dan sejenisnya. Padahal sebenarnya hal tersebut sama sekali tidak diajarkan oleh Islam, bahkan hal itu bisa mengantarkan pelakunya pada jurang kesyirikan (musyrik), na’udzu billah min dzaalik.

Di sini, yang paling relevan untuk dilakukan adalah apa yang pernah diketengahkan oleh Amirul Mukminin, Umar Ibn Khaththab: “ Haasibuu anfusakum qabla an tuhasabuu ” (Koreksilah diri kalian, sebelum kalian semua dikoreksi (di akhirat) kelak). Dalam ungkapan itu yang dimaksud adalah seruan pada umat secara kolektif untuk introspeksi diri pada apa yang pernah dilakukan tahun-tahun sebelumnya. Bukan malah berpoya-poya, berpesta-ria, ber-SEPHIA-mesra (Sabu-Ekstasi-Putaw-Heroin-Inex-Alkohol) dan ber-vulgaria bersama penjaja cinta sebagaimana yang dilakukan oleh (sebagian) orang-orang Barat.

Betapa sangat terpuji dan mulianya jika dana pesta-pesta tersebut, sarana dan prasana penyambutan tahun baru yang tidak bermanfaat itu dialokasikan kepada mereka yang masih selalu menjerit kelaparan, merintih kehausan, menangis kehilangan papan (tempat tinggal), menggigil kedinginan dan yang mengerang kepanasan. Masih adakah empati kita pada mereka? Ataukah empati itu sudah tertutup dengan dinding tebal apatis dan egois kita?

Sejarah Dalam Muharram

Sementara dalam bulan Muharram, lebih-lebih tanggal 10 Muharram, yang disebut ‘Asyura, atau bulan Suro (sebutan Jawa) banyak menitiskan peristiwa bersejarah pada kita, kususnya apa yang pernah dialami oleh para Nabi dan Rasul Allah. Di mana pada hari itu merupakan “hari pertolongan” bagi para Nabi.

Dalam sejarahnya, pada hari itu terdapat beberapa peristiwa besar yang sangat berpengaruh dalam sejarah eksistensi agama Tauhid (Islam), antaranya:
1. Nabi Adam bertaubat kepada Allah dan dipertemukan dengan isterinya , Siti Hawa di Padang Arafah (Jabal Rahmah).
2. Nabi Idris diangkat oleh Allah ke langit.
3. Nabi Nuh diselamatkan Allah SWT dari perahunya setelah bumi ditenggelamkan selama enam bulan.
4. Nabi Ibrahim diselamatkan Allah dari pembakaran Raja Namrud.
5. Nabi Yusuf dibebaskan dari penjara.
6. Penglihatan Nabi Ya’kub yang kabur dipulihkan Allah kembali.
7. Nabi Ayub dipulihkan Allah dari penyakit kulit yang dideritanya.
8. Nabi Yunus dikeluarkan dari perut ikan paus setelah berada di dalamnya selama 40 hari 40 malam.
9. Allah menurunkan kitab Taurat kepada Nabi Musa as.
10. Nabi Musa AS menyeberangi laut merah menyelamatkan diri dari kejaran Fir’aun.
11. Nabi Sulaiman dikaruniai Allah kerajaan yang besar.
12. Nabi Ayub sembuh dari sakitnya yang kronis.
13. Nabi Muhammad SAW lepas dari racun orang-orang Yahudi.
14. Terbunuhnya cucu Nabi Muhammad, Husain Ibn Aly ra. di bukit Karbala.

Pada tanggal ini pula, ummat Islam zaman dahulu diwajibkan berpuasa sebelum adanya perintah wajib puasa Ramadhan. Namun setelah turunnya perintah puasa Ramadhan, maka puasa pada tanggal 10 Muharram menjadi sunnah. Sebagaimana dalam satu riwayat disebutkan bahwa: “Rasulullah menyuruh kita berpuasa Asyura pada tanggal 10 Muharram”. (HR Tirmidzi).

Kemudian di hadits lain Rasulullah SAW meringankan puasa ‘Asyura menjadi sunnah dengan sabdanya: “Barangsiapa yang ingin puasa Asyura, maka berpuasalah dan barangsiapa yang ingin tidak berpuasa, silakan meninggalkannya”. (Al-Hadits). Karena peristiwa bersejarah yang cukup banyak terjadi pada 10 Muharram ini, maka tanggal ini dianggap sebagai tanggal yang penting. Hingga ditetapkan sebagai awal tahun dalam kelender hijriah, di samping bertendensi pada kematangan Rasulullah saw untuk bersiap-siap hijrah pada bulan itu.

Anjuran Dalam Bulan Muharram

Rasulullah SAW menganjurkan kepada ummatnya untuk memetik nilai-nilai rohaniah dari kejadian-kejadian tersebut dan menjadikannya hari peningkatan ibadah dan amal, yaitu dengan berpuasa pada bulan Muharram. Sebagaiamana dijelaskan dalam sabdanya: “Puasa pada hari Asyura menghapuskan dosa-dosa (kecil) pada setahun yang lampau”. (HR Muslim). Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a berkata: Rasululullah saw. Bersabda: “Jika Aku masih hidup tahun depan, niscaya aku akan benar-benar berpuasa pada hari “tasua’ (9 Muharram). (HR. Muslim & Ibnu Majah), yakni demikian itu untuk membedakan kebiasaan kaum yahudi yang suka berpuasa pada tanggal 10 Muharram untuk mengenang sejarah keselamatan Nabi mereka, Musa as. Dan dijelaskan pula bahwa Rasul saw wafat terlebih dahulu sebelum menjalankan puasa di hari tasu’a (9 Muharram) tadi.

Begitu juga dianjurkan pada hari tersebut melakukan perbuatan kebajikan, yang termasuk dalam kategori amal saleh seperti menyantuni fakir miskin, anak yatim, orang-orang lemah dan sengsara, kaum atau keluarga yang membutuhkan pertolongan dan lain-lain. Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang melapangkan (memberi) keluarganya dan ahlinya pada hari Asyura, maka Tuhan akan memberikan kelapangan padanya selama satu tahun”. (HR Baihaqi)

Dengan memahami hadits-hadits tersebut, jelaslah bahwa hari Asyura itu adalah hari untuk beribadah dan beramal serta hari untuk merenungi sejarah. Juga sebagai hari ‘inayatullah (pertolongan Allah), bertaubat, dan minta pertolongan Allah, kususnya mulai tanggal 1 hingga 10 Muharram. Rasulullah SAW mulai mengerjakan puasa ‘Asyura setelah hijrah ke kota Madinah dan sebelum turun ayat mewajibkan puasa Ramadhan.

Dalam suatu riwayat, Said bin Jubair dari Abbas RA mengatakan, ketika Nabi SAW baru hijrah ke Madinah mendapati kaum Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Maka beliau bertanya kepada mereka tentang hal itu, jawab mereka “Hari ini Allah memenangkan Musa dan Bani Israil terhadap Fir’aun dan kaumnya, maka kami puasa karena menganggungkan hari ini”. maka Nabi pun bersabda: “Kami lebih layak mengikuti jejak Nabi Musa dai pada kamu”.

Penutup

Setelah membaca sejarah Muharram yang penulis suguhkan di atas, setidaknya ada beberapa hikmah yang dapat dipetik untuk dijadikan cermin kehidupan kita sehari-hari. Hiruk-pikuk dan zig-zag yang beraneka macam dalam kehidupan yang penuh fatamurgana ini, sangat sulit kita lalui tanpa ada cermin yang menuntun.

Di antara hikmah tersebut adalah kita bisa mengatakan bahwa usaha dan tawakal merupakan kunci sukses dalam mengarungi hidup di dunia ini. Demikian digambarkan Rasul saw bersama Abu Bakar RA saat bersembunyi di Gua Tsur dan para pengejar mereka yang telah berdiri di mulut gua tersebut. Saat itu Abu Bakar RA sangat gemetar ketakutan. Rasulullah SAW menenangkannya sambil berkata: “jangan kuatir dan jangan bersedih. Sesungguhnya Allah bersama kita”. (Al Hadits). Dengan usaha mereka berdua yang berangkat hijrah ke Madinah waktu tengah malam dan selalu bertawakal kepada Allah, akhirnya berhasil terhindar dari bahaya para pengejar yang hendak membunuhnya itu.

Dalam pelaksanaan hijrah sendiri, segala bentuk pengorbanan akan sia-sia dan tidak mendapat pahala di sisi Allah, jika tidak dilandasi dengan perasaan ikhlas karena Allah. Hal ini terekam ketika di antara para sahabat yang ikut berhijrah itu bukan karena Allah, tetapi karena hendak kawin dengan seorang wanita bernama ‘Ummu Qais di Madinah. Perihal tersebut diketahui oleh sebagian sahabat. Sesudah sampai di Madinah, ada orang yang bertanya kepada Rasululah: “Dapatkah pahala orang yang hijrah karena hendak kawin?” Maka sabda Rasulullah: “Tidak diterima amal-amal, melainkan menurut niat. Dan seorang tidak akan mendapatkan sesuatu melainkan dari apa yang dia niatkan. Oleh sebab itu, barangsiapa hijrah karena Allah dan RasulNya, maka ia akan dapat pahala hijrah karena Allah dan RasulNya, dan barangsiapa hijrahnya karena dunia, maka ia akan dapat keuntungan dunia itu atau hijrahnya karena wanita, maka ia akan berkawin dengan dia. Maka (pendeknya pahala) hijrahnya itu menurut niat, karena apa ia berhijrah”. (HR. Jama’ah)
Hijrah Rasulullah SAW dan para sahabatnya juga membawa arti tersendiri dalam mempererat ukhuwah islamiyah antara orang-orang yang hijrah dari Makkah ke Madinah (muhajirin) dan orang-orang penduduk asli Madinah yang menolong perjuangan Islam (Anshar).

Keharmonisan hubungan antara kedua kelompok tersebut begitu mesra terbina, seakan-akan semuanya saudara yang telah lama kenal. Kaum Anshar dengan segala keikhlasan memberikan segala macam bantuan bagi Muhajirin yang telah meninggalkan harta bendanya di Mekkah. Muhajirin pun ikut bersama membangun Madinah di bawah pimpinan Rasulullah Saw.

Di sana ada juga pengorbanan dan keyakinan (dalam ibadah; hijrah) yang tergambar dalam jasa Ali bin Abi Thalib, yaitu ketika beliau tanpa ragu menyanggupi untuk menggantikan Nabi agar tetap berada didalam rumah, bahkan beliau kemudian tidur dan mengenakan sorban Nabi. Sungguh sebuah pengorbanan yang sangat heroik, dimana Ali ibn Aby Thalib yang ketika itu masih seorang pemuda, rela untuk menjadi tameng bagi kelangsungan hidup Rasulnya, yang berarti pula kelangsungan dakwah Islam di muka bumi ini.

Nilai ini juga ditunjukan oleh Abu Bakar as Shidiq, yakni ketika beliau berkata “Biar saya yang masuk kedalam gua (Tsur) dulu, kalau ada binatang buas atau binatang berbisa di dalam sana, saya rela mati, biar anda meneruskan perjuangan dan dakwah anda”. Sebuah epik kepahlawanan dan pengorbanan yang luar biasa. Kemudian dalam versi lain menambahkan bahwa ternyata benar Abu Bakar digigit ular berbisa waktu itu, namun atas kehendak Allah, beliau selamat dalam peristiwa itu.

Hikmah lain, adanya upaya bagaimana menciptakan kondisi yang kondusif dalam lingkungan, agar masyarakat bisa hidup dengan aman dan sentosa, damai dan sejahtera, beretika dan beradab. Demikian tergambar dalam pada waktu Rasul SAW sampai di tempat yang baru (Madinah). Di mana setelah itu Nabi SAW mengganti nama “Yatsrib” (artinya; mengecam) menjadi “Madinah” (artinya; Kota Peradaban).

Hal ini mencerminkan bahwa sebuah proses keberhasilan tidak akan dicapai ketika orang-orang yang berada di dalamnya saling mengecam satu sama lain, kritik yang tidak konstruktif, asal ganti dan lebih mementingkan kepentingan golongan dan pribadinya semata.

Penggantian nama Yatsrib menjadi Madinah, menyimbolkan bahwa keberhasilan hanya akan dicapai dalam tata kehidupan yang beradab, dengan adanya sopan santun dan etika berpendapat, kritik dan masukan, tata aturan yang mesti dipenuhi oleh orang-orang beradab. Kemudian dibuktikan dalam sejarah masa kini, bahwa -di manapun- tidak akan pernah bisa mencapai keberhasilan, ketika individu-individu yang terlibat dalam proses itu saling mengecam, bahkan tak jarang menyebarkan fitnah-fitnah keji. Sebaliknya, sebuah kondisi yang “beradab”, yang berdasarkan tata aturan dan norma kesusilaan-lah yang mengantar sebuah bangsa, sebuah kelompok atau apapun untuk mencapai keberhasilannya.

Jika dicermati dengan seksama, akan kita temui bahwa hijrah Rasul saw mempunyai banyak kelebihan dan pengaruh besar dalam eksisitensi agama Islam ini. Hingga pantas hijrah rasul dijadikan patokan penetapan kalender Islam. Sebab, peristiwa-peristiwa penting bersejarah yang lainnya, hampir semuanya terkandung dalam peristiwa hijrah Rasul saw. Misalkan peristiwa Isra’ & Mi’raj, di mana beliau mendapat perintah shalat wajib lima waktu, datang setelah + dua tahun dari hijrah, peristiwa penaklukan kota Mekah, terjadi setelah hijrah, pun wafatnya Rasul saw terjadi setelah hijrah.

Sedangkan peristiwa kelahiran Nabi saw tidak dijadikan patokan kelnder Islam, karena waktu itu beliau (masih bayi) belum bisa diketahui kalau kelak akan menjadi rasul, hingga kelahirannya pun tidak jauh beda dengan kelahiran bayi lainnya.

Awal wahyu turun, jika dijadikan patokan kalender, sangat memungkinkan sekali akan menimbulkan banyak hal, karena peristiwa tersebut dimulai dengan cara “berkhulwah” (bertapa/ semedi). Di mana hal itu sering pula dilakukan kebanyakan orang Jahiliah, dan sebagainya. Yang ahirnya menimbulkan statemen bahwa Islam adalah agama Muhammad (Muhamadism).

Masih ada beberapa nilai lain yang terkandung dalam peristiwa Hijrah tersebut, tapi sayang tidak sempat terekam oleh ingatan penulis, mungkin bisa ditambahkan dan diluruskan untuk yang tidak benar dalam tulisan ini. Semoga tahun baru Islam, Muharram 1429 ini, kita semua umat Islam dapat mengambil hikmah yang banyak terkandung dari sejarah hijrah tadi.

Refrensi

Al Quran al Karim.
Fathul Qarib Ala Tahdzibit targhib wat Tarhib.
Syekh sayyid Alwy iIn Abbas al Maliki al Husaini. Cet.5/2000 M. Makkah al Mukarramah.
Al Kaamil fit Tarikh. Ibnu Atsir.
Tahdzib Sirah Ibn Hisyam.
Refleksi Muharram 1428H. Casnadi. 22 Januari 2007M.

http://mahmudiimam.wordpress.com

www.ucapantahunbaru.blogspot.com