Kamis, 07 Januari 2010

Hasil MUNAS 2012 : BAHTSUL MASAIL AL-DINIYYAH AL-MAWDLU’IYYAH



HASIL RUMUSAN
BAHTSUL MASAIL AL-DINIYYAH AL-MAWDLU’IYYAH
MUNAS ALIM ULAMA NU TAHUN 2012

I
NEGARA PANCASILA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
                                                                                        
1.      Kehadiran negara merupakan sebuah  keniscayaan, baik secara syar’i maupun aqli, karena  banyak ajaran syariat  yang tak mungkin dilaksanakan tanpa kehadiran negara. Oleh karena itu, al-Imam Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali mengatakan :
الدين والسلطان توأمان لايتم احدهما دون الاخر فالدين أس والسلطان حارس
 “Agama dan kekuasaan merupakan dua saudara kembar yang salah satunya tidak sempurna tanpa kehadiran yang lain. Agama sebagai dasar, sedangkan negara sebagai penjaganya”.
Dengan demikian,antara agama dan negara ada hubungan saling membutuhkan.
2.      Kendatipun eksistensi negara sangat penting dalam Islam, namun ia bukanlah tujuan (ghayah), melainkan hanya sebagai sarana (wasilah). Oleh karena itu, Islam tidak menentukan  bentuk negara dan pemerintahan tertentu bagi umatnya. 
3.      Tujuan  negara adalah terwujudnya  kemaslahatan  rakyat, lahir dan batin,  dunia dan akhirat. Untuk itu,  setiap kebijakan pemerintah terhadap rakyatnya wajib mengacu kepada kemaslahatanmereka, sesuai dengan kaidah fiqhiyyah:
تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة
  “Kebijakan pemerintah terhadap rakyatnya harus mengacu kepada kemaslahatan mereka”
4.      Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah hasil kesepakatan bangsa (mu’ahadah wathaniyyah), dengan Pancasila sebagai dasar negara.
5.      Meskipun Indonesia bukanlah Negara Islam (dawlah Islamiyyah), akan tetapi sah menurut pandangan Islam. Demikian pula Pancasila sebagai dasar negara, walaupun bukan merupakan syari’at/agama, namun ia tidak bertentangan, bahkan selaras dengan Islam.
6.      Sebagai konsekuensi sahnya NKRI, maka  segenap elemen bangsa wajib mempertahankan dan membela kedaulatannya.
7.      Pemerintah dan rakyat memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Kewajiban utama pemerintah ialah mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya secara berkeadilan dan berketuhanan. Sedangkan kewajiban rakyat ialah taat kepada pemerintah, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

II
PEMILUKADA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
  1. Pemilukada yang didasarkan pada UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memiliki tujuan yang sangat mulia, antara lain:
a.     Melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat luas dalam memilih pemimpin di daerahnya. Dengan demikian, ini merupakan pendidikan politik bagi masyarakat dalam berdemokrasi.
b.     Terpilihnya kepala daerah yang aspiratif yang memahami betul problematika masyarakat dan pemecahannya.
Tujuan mulia ini dapat disebut dengan kemaslahatan (mashlahah) yang hendak diraih dengan pemilukada.
  1. Dalam praktek pelaksanaan pemilukada selama ini, dampak positif (mashlahah) yang diharapkan tidak selalu terbukti. Bahkan sebaliknya, dampak negatif (mafsadah), baik dalam proses maupun dalam produknya, telah terjadi dalam skala yang sangat mencemaskan.
  2. Pendidikan politik yang diberikan kepada rakyat melalui pemilukada bukanlah pendidikan politik yang sehat, melainkan pendidikan politik yang buruk, antara lain berupa merebaknya money politics (risywah siyasiyyah). Biaya pemilukada menjadi sangat mahal, bukan hanya bagi negara, tetapi juga bagi para kandidat. Hal ini sangat potensial untuk menimbulkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Banyaknya kepala daerah yang terlibat kasus korupsi, membuktikan kebenaran hal ini.
  3. Harapan untuk memperoleh kepala daerah yang terbaik (ashlah) melalui pemilukada,lebih sering tidak terwujud dalam kenyataan. Sementara itu konflik horizontal akibat pemilukada telah menjadi kenyataan yang sangat memprihatinkan.
  4. Mengingat mafsadah pemilukada merupakan mafsadah yang sudah nyata terjadi (muhaqqaqah), sedangkan mashlahahnya baru berwujud mashlahah semu (wahmiyyah) yang ada dalam praduga dan angan-angan (mawhumah), maka pemilukada harus ditinjau kembali. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah:
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan.”
  1. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) gubernur, bupati dan walikota melalui lembaga perwakilan (DPRD tingkat I dan DPRD tingkat II) layak untuk diberlakukan kembali, karena terbukti mafsadahnya lebih kecil daripada mafsadah pemilukada. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum Islam tentang ditempuhnya madharat yang lebih ringan di antara dua madharat (irtikab akhaff al-dlararain) yang didasarkan pada kaidah fiqhiyyah:
يرتكب الضرر الأخف لدفع الضرر الأشد
“Ditempuh madharat yang lebih ringan dalam rangka menghindari madharat yang lebih berat.”

III
PAJAK DALAM PERSPEKTIF ISLAM
1.     Salah satu wujud dari kewajiban taat kepada ulil amri, sebagaimana diperintahkan dalam al-Qur’an, adalah kewajiban rakyat untuk membayar pajak (dlaribah) kepada pemerintah. Harta pajak yang dikumpulkan merupakan milik rakyat yang diamanatkan kepada pemerintah. Sebagai pemegang amanah, pemerintah wajib mengelola pajak secara profesional, transparan dan akuntabel serta menggunakannya untuk sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat. Sayyidina Umar Ibn al-Khaththab RA berkata :

إنى أنزلت نفسى من مال الله بمنزلة ولى اليتيم إن احتجت أخذت منه فإذا أيسرت رددته وإن استغنيت استعففت
“Aku menempatkan diriku dari harta Allah (harta publik) seperti posisi seorang wali bagi seorang anak yatim. Jika aku membutuhkan, maka aku ambil sebagian dari harta itu. Tapi apabila aku merasa berkelapangan rezeki dan tidak membutuhkan, aku mengembalikannya dan menahan diri untuk tidak mengambilnya.”
2.     Dalam kenyataannya, pemerintah RI belum optimal dalam mengelola pajak secara profesional, transparan dan akuntabel, sehingga banyak terjadi penyimpangan dalam pemungutan, pengelolaan dan pemanfaatan dana pajak. Pajak yang seharusnya untuk kemaslahatan rakyat, beralih menjadi sarana/media memperkaya oknum-oknum tertentu.
3.     Penegakan hukum/law enforcement/iqamatul-hukmi wal-qanun wajib dilakukan tanpa tebang pilih, baik terhadap aparat perpajakan maupun terhadap wajib pajak yang melakukan kejahatan perpajakan.
4.     Untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kejahatan perpajakan, perlu dilakukan revisi terhadap UU No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan UU No.16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), karena di dalamnya terdapat pasal-pasal yang memberi peluang terjadinya penyimpangan dalam perpajakan.
5.     Ketika pajak tidak dikelola dengan amanah dan/atau tidak digunakan untuk kemaslahatan rakyat, maka pemerintah telah kehilangan legitimasi keagamaan dalam memungut pajak dari rakyatnya.

Ditetapkan di Pondok Pesantren Kempek, Palimanan, Cirebon
Pada tanggal 30 Syawwal 1433 H/16 September 2012

Tim Perumus
Komisi Bahtsul Masail al-Diniyyah al-Maudlu’iyah
Musyawarah Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2012

1.      Prof. Dr. KH. Artani Hasbi (Rais Syuriyah PBNU/Ketua Komisi) (..............................)

2.      Dr. H.A. Malik Madaniy, MA (Katib ‘Aam PBNU)                      (..............................)

3.      KH. Afifuddin Muhajir (Katib PBNU)                                           (..............................)

4.      Sholahuddin al-Aiyubi, M.Si (Katib PBNU)                                 (..............................)

5.      HM. Mujib Qulyubi, MH (Katib PBNU/Sekretaris Komisi)          (..............................)

6.      Drs. KH. Eep Nuruddin, M.Pd.I (A’wan PBNU)                         (..............................)

7.      H. Ahmad Asyhar Shofwan (PWNU Jawa Timur)                                    (..............................)

8.      Tgk. H. Syarqawi Abdus Shamad (PWNU Aceh)                         (..............................)

9.      Muhammad Jadul Maula (PWNU DIY)                                        (..............................)

10.  Dr. Abdul Jalil, M.E.I (PWNU Jawa Tengah)                                (..............................)

11.  H. Bachrudin Nasori, S Si,. MM (Lembaga Wakaf PBNU)          (..............................)



www.ucapantahunbaru.blogspot.com