Minggu, 24 Januari 2010

KH. M. Bashori Alwi - Memproduksi Rekaman di Studio Pesantren

Tak salah jika predikat al-Qur’an selalu disematkan masyarakat ke pundak KH. Basori Alwi. Sebab sejak kecil, putra pasangan Kiai Alwi Murtadlo dan Nyai Riwati ini, memang telah karib dengan al-Qur’an. Selepas belajar pada ayahandanya, lelaki kelahiran Malang 15 April 1927 ini, kemudian berguru pada Kiai Muhith – seorang penghafal al-Qur’an dari pesantren Sidogiri Pasuruan. Lalu kepada kakak kandungnya sendiri Kiai Abdus Salam. Dirinya juga pernah belajar kepada Kiai Yasin Thoyyib dan Kiai Dasuqi di Singosari, serta Kiai Abdul Rosyid di Palembang.

Selain orang tuanya, kakeknya juga terkenal alim dan sangat gemar membaca al-Qur’an. Tak heran kalau kegemaran dan bakat itu akhirnya menitis pada dirinya. Itulah pasalnya kenapa Basori kecil kerap diminta Kepala MI al-Ma’arif – tempatnya menimba ilmu, untuk mengajar pada saat kelas kosong. Tanggapan siswa lainnya sangat positif. Bahkan kakak kelasnya pun merasa senang dengan cara mengajarnya.

Meskipun demikian, dirinya masih saja merasa haus dalam menimba ilmu-ilmu al-Qur’an. Itulah sebabnya, saat tinggal di Solo tahun 1946 s/d 1949, dirinya menyempatkan belajar di Madrasah Aliyah dan mondok di Ponpes Salafiyah Solo. Bahkan ketika sudah berkeluarga dan tinggal di Gresik, masih saja aktif mengaji kepada Kiai Abdul Karim. Adapun mengenai lagu-lagu al-Qur’an, diperolehnya dari Kiai Damanhuri Malang dan Kiai Raden Salimin Yogyakarta. ”Kemudian lagu-lagu al-Qur’an itu, kami perdalam melalui kaset rekaman para qari’ Mesir, khususnya Syaikh Shiddiq Al-Minsyawi,” ungkapnya.

Sebelum belajar di Ponpes Salafiyah Solo, KH. Basori Alwi pernah mondok di Ponpes Sidogiri dan Ponpes Legi di Pasuruan antara tahun 1940 – 1943. Selain mengkaji ilmu-ilmu agama dengan kitab-kitab klasik khas pesantren salaf, dirinya juga tekun belajar Bahasa Arab. Di samping itu juga pernah berguru kepada Syaikh Mahmud Al-Ayyubi dari Iraq, Sayyid Abdur Rahman bin Syihab Al-Habsyi – sewaktu di Solo, Syaikh Ismail dari Banda Aceh. Gurunya yang disebut paling akhir ini, adalah pengasuh ponpes al-Ghazali dan redaktur siaran berbahasa Arab di RRI Yogyakarta saat masih menjadi ibukota darurat RI.

Di pondok pesantren maupun masyarakat luas, Pengasuh Pesantren Ilmu al-Qur’an (PIQ) Singosari Malang ini, lebih karib dipanggil dengan sebutan ustadz. Barangkali itu terkait dengan keahliannya dalam melagukan irama al-Qur’an. Apalagi dirinya tak pernah absen berkiprah di Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) dan Seleksi Tilawatil Qur’an (STQ). Baik sebagai Dewan Hakim di tingkat provinsi, maupun pada tingkat nasional. Menurut al-Khuli, kata al-Ustadz diartikannya sebagai profesor. Kiranya teramat pas jika gelar profesor tersebut disarungkan kepadanya. Di samping memang dirinya sangat piawai dalam hal pengajaran al-Qur’an, juga sebagai ulama’ ahli al-Qur’an yang cukup berpengaruh di dalam maupun luar negeri.

Dalam usia 78 ini, semangat untuk mengajarnya tak pernah surut. Sebab sejak muda, bidang garapan itulah yang selalu ditekuninya. Dirinya telah malang melintang berkhidmat di lembaga-lembaga pendidikan; baik umum maupun agama, formal maupun informal. Karir mengajarnya itu, dimulai sejak tahun 1950 ketika masih tinggal di rumah pamannya – di daerah kawasan Ampel Surabaya. Di samping mengajar di SMI Surabaya dan PGA Negeri Surabaya, juga pernah mengajar di PGAA Negeri Surabaya selama lima tahun. ”Ketika menikah dan hijrah ke Gresik, saya masih mengajar di Surabaya,” kenangnya.

Pada tahun 1958, KH. Basori Alwi baru pulang ke Singosari. Di tempat kelahirannya ini, dirinya kembali menjadi guru di PGAA Negeri Malang, serta dosen Bahasa Arab di IAIN Malang. Di samping mengajar di lembaga formal, masih aktif pula mengajar bacaan dan lagu al-Qur’an di berbagai tempat. Dan tepat pada tahun 1978, didirikanlah Pesantren Ilmu al-Qur’an (PIQ) di Singosari.

Kiprah dan andil besar KH. Basori Alwi di bidang pendidikan al-Qur’an, sungguh luar biasa. Tepat sekali jika beliau disebut sebagai pakar al-Qur’an. Sebab mantan qari’ tingkat nasional dan internasional ini, memang tiada henti-hentinya mengajar al-Qur’an dan mendakwahkannya. Dirinya ibarat pendekar yang sudah malang melintah di dunia tilawah. Di tahun 1965, bersama Ustadz Abdul Aziz Muslim dan (alm.) Fuad Zain, pernah diundang untuk membaca al-Qur’an di 11 negara Asia Afrika. “Saat berkunjung ke Saudi, kami berkesempatan melakukan ibadah haji. Dan itulah haji saya yang pertama kali,” tutur ayah sebelas anak ini sambil menerawang ke masa silam.

Tokoh bidang Tilawatil Qur’an ini, juga tercatat sebagai salah satu pendiri Jam’iyatul Qura’ wal Huffadz – organisasinya para qari’ dan penghafal al-Qur’an. Di samping itu tercatat pula sebagai salah satu pencetus ide MTQ tingkat internasional – pada Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) di tahun 1964. Dirinya juga termasuk penggagas MTQ tingkat nasional. Hingga kini beliau tak pernah absen menjadi juri, baik pada MTQ dan STQ Nasional maupun tingkat provinsi. Pada tahun 1985, KH. Basori Alwi juga pernah dipercaya menjadi juri MTQ tingkat internasional di Brunei Darussalam. Begitu pula ketika diselenggarakan di Mesir pada tahun 1998 dan Jakarta pada tahun 2003.

Beliau juga termasuk sosok aktivis organisasi kemasyarakatan yang ulet, serta senantiasa konsen pada dunia dakwah Islamiyah. Buktinya pada tahun 1995 s/d 1958, dirinya pernah memegang kepemimpinn Gerakan Pemuda Ansor. KH Basori Alwi bisa dibilang sebagai sosok ulama yang komplet. Di samping fasih berceramah, juga sangat produktif dalam hal tulis menulis. Selain banyak menulis buku, juga menulis risalah-risalah ringkas dalam bahasa Arab maupun bahasa Indonesia.

Dari karya-karya tersebut, tampak sekali bahwa wawasannya teramat luas dan sangat dinamis. Ketika dunia teknologi komunikasi mengalami perkembangan yang kian pesat, beliau pun tak mau ketinggalan. Bersama para santrinya, KH. Basori Alwi melahirkan rekaman melalui kaset, MP3 dan VCD. Di samping berisi panduan pembelajaran al-Qur’an, juga berisi praktek metode pengajaran, teori-teori ilmu tajwid serta yang lainnya. ”Semuanya itu kami produksi sendiri di studio pesantren,” terangnya.

PIQ Singosari, memang telah menjadi salah satu kiblat penting dalam hal tilawah. Inilah tempat yang menjadi pusat pembinaan para qari’-qari’ah di Jawa Timur. Apalagi sejak semula KH Basori Alwi memang telah menjadi rujukan, baik untuk Qira’ah bit-Tartil maupun cara membaca al-Qur’an secara baik dan benar. Banyak sekali masyarakat pesantren dan umum, yang memintanya untuk mentashih bacaan al-Qur’an mereka.

Sekalipun telah lanjut usia, kakek 23 cucu ini tetap aktif mengajar baik di dalam maupun luar pesantren. Kini masih rutin mengajar masyarakat umum di Kota Probolinggo, Leces, Pacet Mojokerto, Blitar, Sidoarjo dan Malang. Kiranya dirinya tak pernah melupakan pesan Kyai Muhith kepadanya: Li kulli syai’in zakaatun, wa zakaatul ilmi at-ta’ liim – segala sesuatu ada zakatnya, dan zakatnya ilmu itu adalah mengajar. ”Saya merasa bersyukur, para santri yang telah lulus dari sini mau mengembangkannya ke berbagai daerah. Tak sedikit dari mereka yang bahkan telah mendirikan pondok sendiri,” ucapnya bersahaja. Arif

www.ucapantahunbaru.blogspot.com