Jumat, 22 Januari 2010

Menjadikan Shalat Sebagai Penggerak Perdamaian

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjidil Haram ke al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat,” (QS al-Isra’ [17]: 1).

Tiga hari lagi umat Islam di seluruh penjuru dunia akan menyambut atau memperingati Isra’ Mi’raj; sebuah peristiwa penting dalam sejarah kenabian dan perkembangan agama Islam. Menurut pendapat yang populer, isra’ mijraj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian atau dua tahun sebelum hijrah. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Allamah al-Manshurfuri.

Dalam berbagai literatur sejarah dijelaskan bahwa pada saat Isra’ Mi’raj terjadi disebut dengan ‘am al-huzni atau tahun kesedihan. Disebut dengan tahun kesedihan karena pada tahun ini dua orang yang sangat dicintai Rasulullah Saw, yakni Khajidah dan Abu Thalib. Kedua orang ini merupakan pembela setia Rasulullah Saw dari gangguan kaum musyrik Quraisy.

Pasca meninggalnya dua orang yang dikasihi Rasulullah ini, gangguan terhadap dakwah Islam dan pribadi Rasulullah Saw semakin menjadi-jadi. Hal ini membuat Rasulullah Saw hampir putus asa. Lalu Allah Swt meng-isra’-kan dan me-mi’raj-kan Rasulullah Saw untuk mengobati hati beliau yang gundah gulana.
Peristiwa Isra’ Mi’raj bukan hanya sekadar darmawisata untuk mengobati kesedihan hati Rasulullah Saw dengan melihat-lihat alam semesta saja. Namun perjalanan Isra’ Mi’raj tersebut mempunyai arti yang mendalam sekali bagi kehidupan Nabi secara pribadi maupun bagi umat manusia seluruhnya.
Isra’ Mi’raj dalam Bingkai Sejarah

Segi kesejarahan Isra dan Mi’raj berkait erat dengan dua tempat suci yaitu Masjid al-haram di Makkah, dan Masjid al-Aqsha di Bait al-Maqdis di Yerussalem (Palestina). Masjidil Haram, baik dalam arti bangunan itu sendiri ataupun dalam arti keseluruhan kompleks Tanah Suci Makkah (sebagaimana banyak dikemukaan oleh para ahli tafsir al-Quran), adalah tempat bertolak Rasulullah Saw dalam menjalani Isra dan Mi’raj. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah Swt berikut:

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjidil Haram ke al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Men-dengar lagi Maha Melihat,” (QS al-Isra’ [17]: 1).

Makkah, sebagai titik tolak dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj, tersirat makna bahwa Makkah merupakan titik tolak semua ajaran para Nabi dan Rasul, ajaran Tauhid. Selain itu, dalam sebuah ayat dinyatakan bahwa tempat ibadah yang pertama kali dibangun manusia di atas bumi berada di Makkah.

Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat ber-ibadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia,” (QS ‘Ali Imran [3]: 96).


Setelah bertolak dari Makkah, Rasulullah singgah di Bait al-Maqdis atau Masjid al-Aqsha. Di masjid ini Rasulullah Saw menjadi imam shalat bagi seluruh Nabi dan Rasul. Hal ini melambangkan dan menegaskan bahwa Rasulullah merupakan penutup para Nabi dan Rasul.

Dari Masjid al-Aqsha Rasulullah kemudian melakukan mi’raj ke sidratul Muntaha. Sidratul Muntaha secara harfiah berarti “tumbuhan sidrah yang tak terlampaui”, suatu perlambang batas yang tak ada manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi. Hanya Allah yang tahu hal-hal yang lebih jauh dari batas itu.
Dalam hadits disebutkan bahwa Sidratul Muntaha dilihat oleh Nabi setelah mencapai langit ke tujuh. Di Sidratul Muntaha ini Nabi Saw melihat wujud Jibril yang sebenarnya.

Shalat dan Perdamian
Puncak dari perjalanan Isra’ Mi’raj adalah diterimanya perintah shalat wajib langsung dari Allah Swt tanpa melalui perantara sebagaimana perintah agama yang lain. Sepintas perintah shalat ini tidak jauh berbeda dengan perintah keagamaan lainnya. Namun jika direnungkan secara secara tepat dan mendalam, shalat mengandung dimensi kemanusian yang yang sangat luas.

Mahmud Muhammad Thaha dalam bukunya “Risalah Shalat” menyatakan bahwa shalat adalah media bagi seseorang guna merealisasikan perdamaian dengan dirinya, untuk selanjutnya menjadi muara bagi hadirnya perdamaian seluruh manusia.

Mahmud Muhammad Thaha mengatakan bahwa shalat merupakan metode yang jika dilakukan dengan khusu’ bisa membuat kita mampu melihat hakikat kedirian kita, bertemu dengan jiwa kita sendiri, hidup berdampingan dengannya, mengenali, dan mewujudkan perdamaian dengannya.

Menurut Thaha, perdamaian tidak akan ada di dunia ini kecuali apabila setiap individu bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Seorang individu tidak akan dapat berdamai dengan diri sendiri kecuali apabila ia dapat berfikir sesuai yang dia kehendaki, berkata sesuai dengan yang ia pikirkan, serta bertindak seperti apa yang ia katakan. Dan kemudian dampak dari tindakannya selalu baik bagi masyarakat.

Seseorang yang dapat mencegah dirinya untuk tidak melakukan kekejian dan kemunkaran adalah orang yang dapat berdamai dengan dirinya sendiri. Karena sebagaimana yang kita ketahui bahwa dalam diri manusia terdapat dua kecenderungan yakni kecenderungan pada ke-fujur-an (penyimpangan/kesesatan) dan kecenderungan pada kebaikan (takwa).

Maka shalat dalam konteks ini adalah media yang paling efektif dalam mengarahkan seseorang muslim untuk mengalahkan kecenderungan fujurnya hingga ia mampu konsisten pada ketakwaan dan kemudian mencapai kedamaian dengan dirinya kemudian dengan orang lain. Hal ini tentu saja akan menciptakan kehidupan yang harmonis di tengah masyarakat.

Tentu saja bukan perkara yang mudah untuk mencapai hikmah seperti itu, karena tidak jarang kita menyaksikan orang yang shalat namun di saat yang lain ia berbuat kemungkaran. Padahal dalam satu ayat dijelaskan bahwa shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar. Allah Swt berfirman, “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (QS al-‘Ankabut [29]: 45).

Shalat yang tidak berefek pada pencegahan perbuatan maksiat mungkin disebabkan ritme kehidupan manusia dewasa ini yang kian meningkat kecepatannya dengan aneka cara yang kian deras arusnya sehingga pelaksanaan shalat kurang kontemplatif, kurang khusu’, dan kurang tafakkur.
Sebagai sarana komunikasi dengan Allah Swt untuk mencapai derajat ketingkat ketak-waan yang tingi, shalat juga merupakan sarana perekat ikatan sosial.  Shalat akan berfungsi sebagai perekat sosial bila dilakukan bersama-sama, yakni berjamaah.

Pertemuan berkala dan rutin saat mengikuti shalat jamaah nicaya akan merekatkan rasa persaudaraan. Selain itu, dengan shalat berjamaah, setiap muslim yang tinggal di satu kawasan akan saling mengenal satu sama lain. Sehingga tidak ada lagi tetangga yang tidak mengenal tetangga lainnya. Wallahu a’lamu bis shawab.
Penulis adalah Rahimi Sabirin, Pemerhati Masalah Sosial-Keagamaan.

www.ucapantahunbaru.blogspot.com